Thursday, December 28, 2017

Simbolisasi Dan Kontradiksi Revolusi Iran

Simbolisasi dan Kontradiksi Revolusi Iran

Tahun 2011 Iran menempati posisi kedua di bawah Afghanistan pemakai tertinggi narkoba sedunia
Oleh: A. Kholili Hasib
REVOLUSI ‘Islam’ Iran telah berumur 36 tahun, namun kata Vali Nasr masih sering terjebak dalam berbagai macam kontradiksi. Laporan Economist Inteligent Unit (UEI) bertajuk The Safe Cities Index 2015 yang dilansir beberapa pekan lalu menempatkan Tehran, Ibu Kota Iran, sebagai salah satu kota tidak aman di dunia. Satu tingkat di dengan Jakarta.

Iming-iming Ayatullah Khomeini menjadikan Iran imperium kebanggan Islam juga masih berbentuk fatamorgana. Gambaran-gambaran keindahan negeri Persi dalam faktanya sekarang tidak seperti kenyataan yang sesungguhnya.

Negara Iran sendiri dengan sistem diktatornya masih menghadapi tekanan-tekanan kaum reformis dalam negeri Iran. Tahun 2003 silam, perempuan Iran bernama Shirin Ebadi mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.

Shirin adalah aktivis perempuan Iran yang menolak terang-terangan kekuasaan di tangan para Mullah (wilayah al-faqih).

Menariknya, ia disamput hangat banyak perempuan dengan busana yang tidak biasa dalam kultur wanita Syiah. Bahkan sambutan tersebut dipelopori oleh seorang cucu Ayatullah Khomeini, Zahra Eshraqi (Mohammad Baharun, Dari Imamah sampai Mut’ah, hal. 141).

Teokrasi ala Ayatullah Khomeini dengan sistem wilayah al-faqih berhadap-hadapan dengan kultur sekuler anak-anak mudanya yang mulai menggemari gaya Barat.

Tahun 2011 Iran menempati posisi kedua di bawah Afghanistan sebagai pemakai tertinggi narkoba sedunia. Di kalangan generasi muda minat terhadap narkoba industrial seperti Desomorphin terus meningkat.

Heroin sintetis itu mudah diproduksi dan gampang diperoleh. Iran saat ini bahkan dikabarkan tergolong eksportir utama narkoba sintetis semacam ini.

Tidak hanya itu, Iran saat ini menghadapi problem ekspor narkoba ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Tahun 2010 lalu Humas Polri (Kepolisian Republik Indonesia) melaporkan di antara negara-negara yang paling banyak mensuplai narkoba ke Indonesia adalah Iran dan Belanda (jpnn 30/11/210).

Dua tahun lalu ‘prestasi’ Iran sebagai penyuplai narkoba ke Indonesia masih bertahan. Tahun 2012 kembali Polri melansir laporan. Seperti ditulis kompas.com Indonesia saat ini sudah menjadi sasaran utama ekspor untuk negara-negara yang banyak terdapat produsen narkoba seperti ekstasi dari Belanda dan sabu dari Iran (kompas.com 4/10/2012).

Ayatullah Khomeini tahun 1980 mencanangkan untuk ekspor Revolusi Syiah-nya ke negara-negara Muslim, termasuk ke Indonesia. Tetapi dalam dekade belakangan, Iran mengespor dua ‘penyakit’; ekspor aliran Syiah dan ekspor sabu-sabu Iran. Ekspor narkoba tidak pernah diijinkan Khomeini, tapi kenyataannya masyarakat Iran yang belakangan mengalami kemunduran perekonomian sebagiannya mencari kehidupan secara instan, yaitu melalui bisnis narkoba.

Semantara narkoba belum tuntas, ancaman virus HIV/AIDS oleh kementrian Kesehatan Iran dipandang cukup serius. Seperti dilaporkan harian the Guardian, mengutip pernyataan menteri Kesehatan Iran, terdapat kenaikan 9 kali lipat jumlah orang pengidap AIDS dalam kurun waktu 11 tahun terakhir dengan pertambahan 80% setiap tahunnya. Faktornya antara lain rendahnya kesadaran akan bahaya penyakit mematikan. Diakui oleh Menteri Kesehatan, bahwa penyebaran HIV/AIDS lebih banyak melalui hubungan seksual daripada jarum suntik.

Gonta-ganti pasangan seks dalam kawin mut’ah jelas mengandung resiko tinggi terjangkiti HIV/AIDS. Bahkan, konon ada kabar sekitar 250 ribu anak terlantar tanpa bapak hasil kawin mut’ah yang tak bertanggung jawab. Fakta ini pernah menjadi keprihatinan pejabat.

Namun, tetap saja itu dilegalkan karena teks-teks kitab utama Syiah menghalalkan. Otoritas Wilayat al-Faqih punya hak melakukan ijtihad ajaran Syiah, tapi soal mut’ah belum terdengar suara resmi untuk menghapuskannya.

Praktik kawin mut’ah jelas saja membawa masalah dalam negeri Iran. Sejumlah kaum hawa Iran pada tahun 1992 pernah melakukan unjuk rasa menuntut penghapusan kawin mut’ah dari negara Iran. Unjuk rasa itu dipelopori oleh Fatimah Karroubi (majalah Semeseta, Juli 1992).

Negeri yang membawa menjalankan undang-undanganya berdasarkan akidah Syiah itu sedang dirundung dilemma sosial dan keagamaan. Apakah peningkatan penyebaran HIV/AIDS itu karena praktik kawin mut’ah? Dalam laporan the Guardian maupun Menteri Kesehatan tidak ada. Tapi yang jelas, kawin mut’ah (kawin kontrak) yang menjadi ajaran aliran Syiah membuka peluang cukup besar untuk seseorang berganti-ganti pasangan seks.

Inilah kenyataan dilematis yang menurut Vali Nasr dayat tarik modernitas dan reformasi di kalangan sebagian pemudanya cukup kuat akhir-akhir ini. Mungkin saja mereka merasa jenuh dengan sistem kekuasaan sentral Mullah.

Wilayat al-Faqih, yang dikatakan merupakan ijtihad untuk mengisi kekosongan imamah belum menjanjikan kebangkitan sepenuhnya. Sentralisasi keagamaan yang diikuti dengan sentralisasi finansial mungkin saja tidak disenangi kaum reformasi.

Kaum Mullah yang berhak mendapatkan khumus  memancing kecemburuan aktivis reformasi dan kaum sekuler. Sebagai catatan, sistem ini tidak pernah di temukan dalam teks-teks induk Syiah terdahulu.

Agaknya, fakta-fakta ini membuka mata bahwa  Revolusi tahun 1979 dengan mengusung jargon Islam seperti berada dalam ujung tanduk. Iran yang katanya Islami tapi praktik di dalam negeri banyak bertentangan dengan nilai Islami. Islam yang diusung Iran akhirnya sekedar simbol belaka. Bendera Iran terdapat lafadz “Allah”, namun hakikatnya tidak menunjukkan keagungan Allah Subhanahu Wata’ala.

Maka, sebaiknya Iran tidak perlu mengespor ajaran Syiah-nya ke negeri-negeri Muslim. Iran sepatutnya membenahi persoalan dalam negerinya itu yang makin lama semakin rumit itu. Ekspor Syiah-nya jelas saja membawa masalah tersendiri. Simbol-simbol revolusi akhirnya sekedar simbol yang meninggalkan masalah. Syria perang saudara, Yaman membara dan Iran masih berdarah-darah. Semuanya setelah terinfiltrasi campur tangan Syiah. Revolusi gagal di dalam negeri. Sehingga tidak perlu diekspor ke luar negeri. Di balik kampanye keindahan dan kemajuan Iran, persoalan sosial mendera negeri Mullah itu. Kita harus melihatnya dengan dua mata, bukan dengan satu mata. Wallahu a’lam bisshowab.*

Penulis adalah Anggota MIUMI Jawa Timur