Thursday, January 11, 2018

Membedah "Klarifikasi Rahmatan Lil 'Alamiin" Versi Ustadz Abdul Somad

Hasil gambar untuk rahmatan lil alamin

Transkip Lengkap Video Kontroversi Ust. Abdus Somad dan Islam Rahmatan Lil Alamin, disertai Klarifikasi


Tulisan ini selebihnya hanya memuat transkip dari pidato Ust. Abdus Somad dalam kegiatan Muktamar HTI di Riau pada tahun 1437 H.

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh Alhamdulillah wa shalatu wassalamu ala Rasulillah wa ala alihi wa shahbihi wa man walah, .........

Islam rahmatan lil alamiin. 

40 tahun lamanya dia (Nabi Muhammad) hidup menjadi seorang laki-laki yang shalih, tapi untuk mewujudkan Rahmatan Lil Alamin TIDAK AKAN TERWUJUD, kenapa ? karena dia (Nabi Muhammad) HANYA SHALIH untuk dirinya sendiri, sholih untuk Khadijah (istrinya), shalih untuk Ruqayyah, shalih untuk Fatimah, TAPI TIDAK UNTUK Rahmatan Lil Amiin, karena dia (Nabi Muhammad) shalih untuk istri dan anaknya 

Turun wahyu kepadanya 13 tahun lamanya,  DAPATKAH DIA MEWUJUDKAN Rahtaman Lil Amiin? TIDAK, karena dia terkekang, dikekang oleh orang-orang yang tidak senang kepada wahyu yang ia terima. Maka Rahmatan Lil Alamiin TIDAK TERWUJUD diatas muka bumi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Masuk Islam orang-orang yang kaya, orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang diberikan Allah SWT usia muda, tapi TETAP JUGA dia tidak dapat mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamiin. 

KAPAN rahmatan lil alamiin itu baru dapat diwujudkan? BUKAN DENGAN KENABIAN, BUKAN DENGAN AL-QUR'AN DITANGAN, tapi setelah TEGAKNYA khilafatun Nubuwwah. 

TIDAK AKAN ADA YANG DAPAT mewujudkan RAHMATAN LIL ALAMIIN, selain daripada Khilafatun Nubuwwah, Khilafah ala Minhajin Nubuwwah.

Jika seluruh umat ini tidak mempedulikan khilafah ini, maka dia suka menyia-nyiakan pesan nabinya, Muhammad SAW, karena Nabi mengatakan:

 من يعيش بعدي فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ 

siapa yang hidup sesudah aku nanti, dia akan melihat Ikhtilafan Katsiran, akan banyak ikhtilaf, akan banyak firqah dan kelompok, maka kalian kata Nabi, aku pesankan 'Alaikum Bisunnati, ikuti sunnahku, wa sunnatil Khulafair Rasyidin, kenapa dia sebut Khulafa'? karena yang dia inginkan adalah KHILAFATUN NUBUWWAH yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul SAW, alaikum bisunnati ikuti sunnahku wa sunnatil khulafair rasyidin al mahdiyyina min ba'di, jangan kalian pegang dengan tangan, mungkin dia akan lepas, ... gigitlah dengan gigi geraham. Petir menyambar, apapun yang terjadi, obatnya boleh kuat, anginnya boleh kencang, kalau gigit pakai gigi geraham, dia tidak akan lepas sampai selamanya. 

Hari ini, pesan inilah yang disia-siakan, pesan ini yang tidak dilaksanakan, ADA SEKELOMPOK UMAT yang masih istiqamah memegang ini, lalu kalau ada orang yang tidak tamat mengikutinya, andai kau belum sanggup untuk menegakkan kebenaran, paling tidak jangan engkau turun dalam kebatilan (4:18), 

DOSA TERBESAR UMAT INI bukanlah minum Khamr, karena dia akan mabuk untuk dirinya sendiri, andai ada orang BERZINA, mungkin mudlarat itu hanya untuk dua orang dan dua keluarga besar, tetapi ketika khilafah ini disia-siakan, maka TAK TERWUJUDNYA Rahmatan Lil Alamin, dirasakan oleh dari sejak mulai ikan lumba-lumba yang dipertontonkan ditengah anak-anak yang mestinya mereka mendapatkan keadilan sampai kepada anak yatim, dalam kepada anak yang dalam fitrah, sampai kepada alam semesta, tidak mendapatkan Islam Rahmatan Lil Alamin. APA SEBABNYA? sebab karena tidak tegaknya Khilafah.

Satu-satunya jalan adalah menegakkan apa yang sudah ditegakkan oleh Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW, yang diteruskan oleh Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman wa Ali, wa kullish shahabati Rasulillah Ajma'in. Sampai akhirnya itu diangkat oleh Mustofa Kemal Attaturk pada tahun 1924, SEJAK ITU UMAT ISLAM TERCERAI BERAI, berkeping, hancur, seperti anak yatim kehilangan induk. 

Maka hari ini jika ada orang yang mengatakan Rahmatan Lil Alamin, sanggupkah istrimu mengatakan Islam Rahmatan Lil Alamin jika matanya lebih banyak melihat sinetron daripada al al Qur'an, sanggupkan anak-anakku mengatakan Islam Rahmatan lil alamin kalau otaknya kepalanya sudah dicuci, dimainkan oleh game online, playstation, sanggupkah ulamaku mengatakan Rahmatan lil alamin kalau kepalanya sudah diisi Liberalisme, Sekulerisme. Sanggupkah umaro' ku mengatakan Rahmatan lil alamin kalau didalam kepalanya bercengkrama DEMOKRASI LIBERAL SEKULER yang datang dari barat. Maka satu-satunya adalah kembali kepada ajaran Islam Taraktu Fikum Amraini yang kutinggalkan kepada kalian tidak banyak, hanya dua saja, Kitabullah wa Sunnati, Kitaballah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Jika kamu tidak paham, tidak mengerti, Fas'alu ahlad dzikri tanya orang yang tau, tanya orang yang paham in kuntum la ta'lamun.

Kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia INGIN MERANGKUL BUKAN MEMUKUL, ingin MENGAJAK BUKAN MENGEJEK semua golongan lapisan masyarakat yang kaya dengan hartanya, yang ulama dengan ilmunya, tokoh adat tokoh masyarakat ..., semuanya bertujuan untuk satu, TEGAKNYA SYARIAT ALLAH. Jika menolang agama Allah, In Tanshurullah kalau kamu tolong agama Allah ini, Yanshurkum maka Allah akan menolongmu, wa Yutsabbit aqdamakum dia akan menegakkan kakimu diatas agamanya. Tiap hari kita mengatakan Ya Muqallibal Qulub wahai engkau yang membolak-balikkan hati Tsabbit Qalbi kokohkah hatiku dalam agamamu, tapi tak pernah sekali pun kita tolong agama Allah, jangan pernah bermimpi Allah akan kasian kepada kita, Allah akan bangkitkan kita dalam penyesalan panjang, maka tolonglah agama Allah dengan apa yang kita mampu, terima kasih, wassalamu 'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Beredarnya video Ust. Abdus Somad yang menuai kontroversi itu juga diklarifikasi oleh Ust. Abdus Somad. Berikut klarifikasi yang beredar, serta pernyataan bahwa dirinyta bukan HTI :


KLARIFIKASI SAYA TENTANG CERAMAH ‘RAHMATAN LIL ‘ALAMIN’.. 

Oleh: Abdul Shomad, Lc. MA. 

Firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلىَ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa berita (baik orangnya yang fasiq maupun substansi beritanya yang fasiq), maka PERIKSALAH DAN TABAYYUNLAH dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan.” (QS. Al Hujurat ayat 6).



Terkait video ceramah saya bertajuk khilafah islamiyyah & rahmatan lil alamin yang dipotong-potong oleh sejumlah fihak yang tak bertanggung jawab sehingga beberapa hari ini menjadi bahan perbincangan dan mengundang fitnah serta tuduhan keji kepada diri saya, maka saya mohon maaf jika klarifikasi ini terlambat saya berikan. Karena selama umroh, saya tidak membeli nomor baru Saudi Arabia dan tidak isi pulsa. Khawatir tergoda internet. hanya pakai wifi hotel saja.

1=> Saya bukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan tidak pernah tercatat sebagai anggota resmi HTI. Video pertama itu bertempat di depan masjid raya An-Nur provinsi Riau. Dihadiri banyak tokoh lintas ormas dan semua memberikan orasi 5-10 menit. Saya diundang sebagai da’i dari luar HTI. Orasi saya seputar urgensi politik Islam. Sedangkan Video kedua yaitu di hotel Pangeran Pekanbaru. Dihadiri tokoh lintas ormas. Lagi-lagi saya di undang sebagai DA’I DILUAR HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI). Ngga penting dibahas

2=> Isi tausiyah video 8 menit itu tentang politik Islam. Inti yang saya sampaikan adalah bahwa usia nabi dibagi tiga, yaitu:

40 tahun sebagai seorang dalam persiapan kenabian (belum memegang kekuasaan)

13 tahun di Makkah fase kenabian; tetapi lemah dan tertindas. Bilal Bin Rabah disiksa, Sumayyah wafat sebagai syahid, Shuhaib terusir. dll Radhiyallahu’anhum Ajma’in..

10 tahun di Madinah setelah memiliki kekuasaan. Barulah terwujud pemerataan keadilan dgn bahasa al-Qur'an: rahmatan lil'alamin. 

3=> Fiqih Islam itu banyak aspek. Ngga penting dibahas
Ada fiqih/aspek ibadah, yaitu: sholat, zakat, puasa, haji, dll. Ada fiqih mu'amalah, yaitu: jual beli, gadai, hutang piutang, dll. Ada fiqih munakahat, yaitu: nikah, thalaq/cerai, zhihar, li'an, dll. Dan ada fiqih/aspek politik, yaitu: syarat pemimpin, dll. Nah, dalam membahas aspek politik Islam ini ulama menggunakan banyak istilah. Panjang lebar dibahas Imam al-Mawardi yang wafat pada tahun 450 H dalam kitabnya Al-Ahkamus Sulthaniyyah, begitu juga Syaikh Al-'Allamah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqhid Daulah, sampai Ustadz Sulaiman Rasjid dalam Fiqih Islam. Yang diantara macam-macam istilah yang digunakan mereka ialah:

- As-Siyasah as-Syar'iyyah
- Al-Imamah
- Al-Khilafah
- Ad-Daulah 
- Yang dimaksud adalah aspek politik dalam Islam. 

4=> Yang selalu saya sampaikan adalah pendapat moderat Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitab ‘Min Fiqhid Daulah’. Bahwa ketika mencoblos maka itu adalah persaksian di hadapan Allah Ta’ala bahwa kita bersaksi memilih pemimpin dan wakil kita. Jangan lupa diantara dosa terbesar adalah kesaksian palsu. Ngga penting dibahas

5=> Dalam ilmu hadits ada yang disebut dengan al-Jam’u wat Taufiq (الجمع والتوفيق) yaitu mengkombinasikan dan mengkompromikan beberapa hadits tentang suatu masalah. Begitu juga hendaknya sikap kita menyikapi beberapa potongan video, tulisan, atau pernyataan dari seseorang agar dapat pemahaman yang utuh. Ngga penting dibahas

6=> Kata mereka, “Abdul Shomad menghina Nabi Muhammad”.

Walhamdulillah, saya adalah Alumni Darul Hadits yang belajar hadits-hadits Nabi. Dari tahun 2008 pulang ke Indonesia mengajar hadits. Di UIN mengampu mata kuliah hadits. na’udzubillah kalau saya menghina Rasulullah. Please deh !! Ngga penting dibahas

7=> Insya’ Allah saya dapat menjelaskan pada ikhwah sudaghe-sedulur-sederek-sedoyo-halak -hita-sasudena yang gagal faham. Tapi saya tidak akan pernah mampu memberikan penjelasan pada orang-orang yang memang mengambil kesempatan dengan gagal faham. Ngga penting dibahas

8=> Biasanya efek fitnah-fitnah begini orang makin simpati, lovers dan followers makin bertambah (walau saya tak mengharap itu). Saya sudah cukup ribet dengan popularitas ini. Ke mall saya terpaksa pakai topi pet. Itu pun ketauan juga. Di airport saya sering hampir ketinggalan pesawat gara-gara lovers minta photo. Jadi tolong, belilah paket 4 GB. Tonton video-video saya secara tuntas. Kalau gak faham, ya tanya.! Gitu aja kok repot.. Ngga penting dibahas

Semoga Allah Ta’ala selalu membimbing hati kita. Aamiin..
https://www.youtube.com/watch?v=Uumq5fKWj0E


klarifikasi tersebut bukan berisi penjelasan tantang masalah hal yang sedang menjadi polemic, out o contect.
Dalam klarifikasinya hanya menjelaskan sesuatu pengetahuan yang umum. Dia menjelaskan bahwa Kehidupan Nabi Saw di bagi tiga Frase. 
1. Sebelum Diangkat Jadi Nabi (Dari Lahir sampai umur 40 tahun)
2. Memasuki masa kenabian, 13 tahun dari mulai Wahyu Turun kepadanya ( dari mulai Genap umur 40 tahun hingga umur 53 tahun )
3. Masa khilafatun Nubuwah ( umur 53 sampai dengan Wafatnya ).
Tak satupun Ulama dari Mulai Zaman sahabat  Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sekarang yang mengatakan bahwa selama dua fase Kehidupan  Nabi, beliau tidak bisa mewujudkan Islam Rahmatan Lil'alamien.
Apakah beliau tidak paham bahwa Islam dengan Rahmatan Lil'alamien tidak bisa dipisahkan ?
Apakah beliau tidak paham bahwa Rahmatan Lil'alamien itu adalah Merupakan Fithrah dari islam itu sendiri?. 
Oleh karena antara Rahmatan Lil'alamien tidak bisa pisahkan dengan Islam, maka ketika Abdul Shomad mengatakan Bahwa  dalam dua Fase Kehidupannya tidak bisa mewujudkan Islam Rahmatan Lil'alamien, maka itu sama halnya dengan Shomad mengatakan bahwa islamnya  Nabi saw Dalam dua Fase tertolak.
Dalam pidatonya di Muktamar HTI Riau Abdrul Shomad mengatakan bahwa Rasulullah Saw selama 40 tahun sebelum beliau menerima risalah nubuwah, beliau belum berhasil mewujudkan Islam Rahmatan Lil'alamien, dan setelah menerima Risalah nubuhwah pun hingga wafatnya beliau belum berhasil mewujudkan Islam sebagai Rahmatan Lil'alamien. 
Baru setelah beliau wafat dan digantikan oleh khulafa Al-Rasyidin Islam Rahmatan Lil'alamien bisa terwujud ??
Orang yang di beri kesitimewaan oleh Allah SWT disebutnya sebagai orang yang tidak berhasil mewujudkan Rahmatan Lil'alamien ????
Orang yang dirinya disebut Oleh Tuhannya sebagai manifestasi dari Rahmatan Lil'alamien itu sendiri malah disebut oleh Abdul Shomad sebagai Orang yg tidak berhasil mewujudkan Islam Rahmatan Lil'alamien. ???
Melihat testimoni UAS di acara HTI pada dalam sebuah rekaman video yang beredar maka Ustad Shomad setidak ada dua kesalahan fatal.
1. Dia keliru menilai kerahmatan Nabi Muhammad Saw hanya pada aspek kemanfaatan bagi orang lain saat berada di daulah Khilafah. Padahal ketika Nabi Muhammad Saw selama 13 tahun dakwah di Makkah, kerahmatannya sudah ada seperti turunnya wahyu sebagai petunjuk bagi umat manusia, tidak diazabnya penduduk Makkah karena menentang dakwahnya, dan lain sebagainya.
2. Masa Nabi Muhammad Saw di Madinah disebut masa pemerintahan Nubuwwah bukan khilafah. Kerahmatan Nabi Muhammad Saw di masa pemerintahan Nubuwwah sudah ada antara lain, mempersaudarakan suku ‘Aus dan Khazraj, berbondong-bondong orang masuk Islam, tersebarnya Islam keluar jazirah Arab, dll.
Lihat video selengkapnya:
"Kapan rahmatan lil 'alamin itu baru dapat diwujudkan? Bukan dengan kenabian, bukan dengan al-Qur'an di tangan, tapi setelah tegaknya khilafatun nubuwwah. Tidak akan ada yang dapat mewujudkan rahmatan lil 'alamin selain daripada khilafatun nubuwwah, khilafah ala minhajin nubuwwah," jelas Abdul Somad.

Salah Kaprah Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin

Buletin At Tauhid edisi V/47
Oleh: Yulian Purnama
Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh manusia)” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa arab, rahmat artinya ar-rifqu wa ath-tha’athuf; kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Para Ahli Tafsir
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat di sini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
a) Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
b) Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
c) Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
d) Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”.
2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ’satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini: ”Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”… Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini: “Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya” (diterjemahkan secara ringkas).
4. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir:
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman yang Salah Kaprah
1. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar (pluralisme agama), dengan berdalil dengan surat Al Anbiya ayat 107.
Padahal ayat ini sama sekali tidak anjuran untuk perintah berkasih sayang kepada orang kafir. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmatAllah dalam ayat ini bagi orang kafir adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu.
Selain itu, konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.
2. Berkasih sayang dalam kemungkaran dan penyimpangan agama
Sebagian kaum muslimin membiarkan berbagai maksiat dan penyimpangan agama serta enggan menasehati mereka karena khawatir para pelakunya tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.
Islam sebagai rahmat Allah bukanlah maknanya berkasih sayang kepada pelaku kemungkaran dan penyimpangan agama serta membiarkan mereka terus melakukannya. Sebagaimana dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Sebagian orang yang dinasehati berkata: ‘biarkanlah kami dengan apa yang kami lakukan, jangan mengusik kami’. Ketahuilah pernyataan ini hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun: “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan? Dalam surat Al Ashr dipaparkan: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1–3)
Pemahaman yang Benar
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya di atas, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya. Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmush shalihat.. [Yulian Purnama]

Agar kita tidak salah memahami dari kalimat tersebut, mari kita lihat beberapa tafsir dari ayat yang menjadi sumber kalimat tersebut, yaitu Al-Quran surat Al-Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Pengertian Rahmatan Lil’Alamin Menurut Bahasa
Berikut adalah arti rahmatan lil’alamin jika ditinjau dari segi bahasa (arab)
الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur).
Dalam konteks penggunaan istilah ini Ar-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa ar-rahmah kadang berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsân (kebajikan); [1] atau al-khayr (kebaikan) dan an-ni’mah (kenikmatan). Karena itu kata ini termasuk ke dalam lafal yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak) [2] Pemaknaannya ditentukan oleh indikasi lainnya [3]
Dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Dengan demikian Rahmatan lil’alamin secara bahasa adalah kasih sayang bagi seluruh alam. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Rahmatan Lil’Alamin Menurut Para Ahli Tafsir
Makna Rahmatan Lil’Alamin Menurut Ibnu Katsir, berikut adalah kutipan isi tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya ayat 107. Pada ayat ini (QS. Al Anbiya: 107) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada kita bahwa Dia telah menciptakan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam  sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang. Barangsiapa menerima rahmat ini dan berterima kasih atas berkah ini, dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Namun, barangsiapa menolak dan mengingkarinya, dunia dan akhirat akan lepas darinya, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّواْ قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ – جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah (perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah) dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ibrahim:28-29)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman dalam Al Qur’an:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدًى وَشِفَآءٌ وَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ فِى ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُوْلَـئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ
“Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quraan itu suatu kegelapan bagi mereka (tidak memberi petunjuk bagi mereka). Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat:44)
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya: Ibnu Abi‚ Umar telah menceritakan ke kami, Marwan Al-Fayari menceritakan ke kami, dari Yazid bin Kisan, dari Ibnu Abi Hazim bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa telah dikatakan, “Wahai Rasulullah, berdoalah menentang kaum Musyrikin.”
Beliau berkata:
إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَة
“Saya tidak dikirim sebagai kutukan, melainkan sebagai rahmat.”

Membedah "Klarifikasi Rahmatan Lil 'Alamiin" Versi Ustadz Abdul Somad

Ada kaidah mulia yang senantiasa dijunjung tinggi oleh para ulama, bahwa membantah dan mengkritik kekeliruan sosok panutan dalam masalah agama, merupakan bagian dari kewajiban agama paling mulia, tanpa harus mengonfirmasi kepada pihak yang menjadi sumber kesalahan. Dengan tujuan, menjaga keutuhan agama dan mengikis syubhat agar tidak mencemari keagamaan umat Islam.
Buktinya para ulama sepanjang masa, mereka saling bantah membantah dan kritik mengkritik tanpa harus mengonfirmasikan kepada pihak yang bersalah, selagi kesalahan itu terkait dengan masalah agama yang membahayakan umat, bahkan ketika Imam Ibnu Taimiyah membantah kesesatan Bakri dan menulis sebuah kitab al-Istighatsah fir Raddi ala Bakry, tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu.
Malah saat Imam Ibnu Taimiyah mendapatkan fakta akurat dan bukti kuat kesesatan al-Bakri, maka beliau meluruskannya melalui tulisan diatas, dalam rangka menjaga kemurnian agama dan kemaslahatan umat supaya tidak tersesat dalam mengikuti sosok panutan. Sehingga Imam adz-Dzahabi berkata,

وما زال العلماء قديما وحديثا يرد بعضهم علي بعض في البحث وفِي التواليف وبمثل ذلك ينفقه العالم وتبرهن له المشكلات ولكن في زماننا قد يعاقب الفقيه إذا اعتني بذلك لسوء نيته ولطلبه للظهور والتكثر فيقوم عليه قضاة وأضداد ونسأل الله حسن الخاتمة وإخلاص العمل. (السير)

Para ulama dari dahulu hingga sekarang saling bantah-membantah pendapat di antara mereka baik berupa penelitian dan karya tulis. Dengan cara itu, seorang ulama akan bertambah alim dan permasalahan bisa terurai dengan jelas. Tetapi zaman sekarang kadang seorang alim dipersalahkan, karena melakukan itu, disebabkan dikuasai niat buruk, ingin kesohor dan punya banyak massa. Akhirnya dikerahkan para hakim dan rival-rival untuk menindaknya. Kami memohon husnul khatimah dan amal yang ikhlas.

Setelah membaca klarifikasi ustad Abdul Somad tentang makna RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, yang paling menggelitik pikiran saya adalah tulisan beliau yang berbunyi:

"10 tahun di madinah setelah memiliki kekuasaan. Barulah terwujud pemerataan keadilan dengan bahasa al-qur'an: rahmatan lil 'alamiin"

Sebelum mendiskusikan panjang lebar klarifikasi tentang Rahmatan Lil 'Alamin, maka penting disampaikan bahwa secara dasar maksud rahmat adalah al-Qur'an termasuk as-Sunnah yang menafsirkannya sebagaimana firman Allah,

ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۖ فَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ [البقرة : 64]

Kemudian kamu berpaling setelah itu maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu niscayalah kamu akan termasuk orang-orang yang merugi atau celaka.

Dari hasil kutipan Imam Thabary dari Abu 'Aliyah ketika beliau menafsirkan fadhlullah (karunia Allah) adalah Islam dan rahmatNya adalah al-Qur'an.

Dengan demikian, bahasa alQur'an tidak pernah mengenal makna seperti itu, justru cakupan rahmat memuat seluruh kebenaran dan kebaikan Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, sehingga membatasinya hanya pada pemerataan keadilan sosial pada era Madinah memunculkan insiden tafsir, bahkan kekeliruan tampak fatal ketika ustadz Abdul Somad memaknai cakupan RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, seakan hanya membatasi dan membonsai pada pemerataan keadilan sosial yang terakumulasi dalam kekuasaan periode Madinah.

Tidak dipungkiri bahwa pemerataan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia, baik Muslim dan kafir menjadi bagian struktural parsial bukan struktural subtansial dari cakupan literasi RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, sebagaimana penegasan Ibnu 'Asyuur dalam tafsirnya,

أما رحمة الإسلام بالأمم غير المسلمين فإنما نعني به رحمته بالأمم الداخلة تحت سلطانه وهم أهل الذمة . ورحمته بهم عدمُ إكراههم على مفارقة أديانهم ، وإجراءُ العدل بينهم في الأحكام بحيث لهم ما للمسلمين وعليهم ما عليهم في الحقوق العامة .

Adapun rahmat Islam kepada non muslim maksudnya adalah rahmat kepada umat yang berada dalam kekuasaan Islam, yaitu ahli dzimmah. Dan maksud rahmat Islam kepada mereka adalah mereka tidak dipaksa untuk melepas agama mereka, bahkan mereka diperlakukan secara adil dalam hukum, mereka mendapat hak-hak dasar seperti yang didapat oleh kaum Muslimin dan terkena beban kewajiban dasar seperti kaum Muslimin juga.

Akan tetapi, rahmat Islam itu mengucur ke seluruh alam semesta, sejak dimaklumkan tugas nubuwwah dan risalah, sehingga pesan RAHMATAN LIL 'ALAMIIN teguh dan tegak sejak diutusnya beliau yang tugas utamanya adalah mengukuhkan dimensi 'ubudiyah dan pilar-pilar tauhid sebagaimana firman Allah,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ [الأنبياء : 10]
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (hai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Oleh sebab itu, rahmat menurut Said bin Jubair yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutib oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya bahwa Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh manusia, siapa yang beriman kepadanya dan membenarkannya maka akan bahagia dan siapa yang tidak beriman, dia hanya selamat dari adzab longsor dan tenggelam sebagaimana yang menimpa umat-umat dahulu.

Dari sini makna rahmat paling mendasar adalah beriman kepada risalah, sehingga Ibnu Zaid mengkhususkan rahmat bagi orang-orang yang beriman saja.

Oleh karena itu, inti dasar rahmat adalah keimanan kepada risalah dan nubuwwah beliau, maka Rasulullah bersabda,

" إنما أنا رحمة مهداة "
Sesungguhnya aku adalah pembawa rahmat dan penunjuk.

Dan sejatinya hadirnya RAHMATAN LIL 'ALAMIIN sejak pertama kali diutusnya Rasulullah tanpa membedakan antara periode Mekah dan periode Madinah hingga menunggu tersebarnya pemerataan keadilan sosial yang terlahir dari mapannya kekuasaan.

Bahkan Imam al-Thabary mengutip dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ketika beliau menafsirkan ayat diatas berkata, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berhak memantik rahmat di dunia dan akhirat.

Jadi, Nabi Muhammad telah mewujudkan peran dan pesan RAHMATAN LIL 'ALAMIIM secara sempurna baik pada periode Mekah dan periode Madinah. Sehingga beliau diutus sebagai nabi rahmat tanpa pembatasan sebelum atau sesudah memiliki kekuasaan sebagaimana sabda beliau,

" إني لم أبعث لعانا ، وإنما بعثت رحمة "
Sungguh aku tidak diutus untuk mengutuk tetapi aku diutus menjadi rahmat.

Dengan demikian Imam Thabari menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai membawa pesan Rahmat (RAHMATAN LIL 'ALAMIIN), untuk seluruh alam semesta, baik mukmin maupun kafir. Adapun rahmat kepada mukmin, berupa petunjuk dan masuk dalam lingkaran keimanan serta beramal apa saja yang dipesankan beliau agar seorang Muslim masuk surga. Adapun rahmat kepada orang kafir, mereka ditunda adzab segera di dunia sebagaimana yang menimpa umat-umat yang mendustakan para utusan Allah sebelum nabi Muhammad.
Oleh: ustadz zainal abidin, lc

Ada Apa Dengan Hizbut Tahrir ? Khilafah Model Siapa Yang Akan Diusungnya ?

[situs hizbut tahrir/al khilafah banyak menyebar fitnah dan kedengkian pada Negeri Tauhid Saudi Arabia ]
Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah, Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Geraka
Bagi orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang kelompok Hizbut Tahrir, tentu akan menganggap tujuan mereka yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah sebagai cita-cita mulia. Namun bila mengkaji lebih jauh siapa mereka, siapa pendirinya, bagaimana asas perjuangannya dan sebagainya, kita akan tahu bahwa klaim mereka ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah ternyata tidak dilakukan dengan cara-cara yang Islami.
Apa Itu Hizbut Tahrir? 
Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial (Mengenal HT, hal. 1).
Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hal. 16)
Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan:
“Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”(Strategi Dakwah HT, hal. 40-41).
Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul.
Allah menegaskan:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sesembahan selain-Nya’.” (An-Nahl: 36)
Rasulullah juga menegaskan:
“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 45)
Tujuan dan Latar Belakang 
Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hal. 2, 54 )
Para pembaca, tahukah anda apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi?
Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini –tanpa kecuali– termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim.
Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. (Lihat Mengenal HT, hal. 79)
Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah.
Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 18/282)
Para pembaca, mengapa –menurut HT– harus satu khilafah? Jawabannya adalah, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Sehingga merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hal. 49-55)
Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.
Al-’Allamah Ibnul Azraq Al-Maliki, Qadhi Al-Quds (di masanya) berkata: “Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 37)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 34)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)
Demikian pula yang dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347), cet. Darul Hadits.
Kapan HT Didirikan? 
Kelompok sempalan ini didirikan di kota Al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah1 dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahanagama.Dia adalah Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon (Lihat Mengenal HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyqi).
Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?!
Wallahul musta’an.
Landasan Berpikir Hizbut Tahrir 
Landasan berpikir HT adalah Al Qur‘an dan As Sunnah, namun dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah dan para shahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, Asy-Syaikh Al-Albani, menjuluki mereka dengan Al-Mu’tazilah Al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru).
Padahal jauh-jauh hari, shahabat ‘Ali bin Abi Thalib telah berkata: “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”2 (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Demikian pula menolak hadits ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin.
Di antaranya adalah: Keistimewaan Nabi Muhammad atas para nabi, syafaat Rasulullah untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-shirath), telaga dan timbangan amal di hari kiamat, munculnya Dajjal, munculnya Al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa u di akhir zaman, dan lain sebagainya.
Adapun dalam masalah fiqih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Di antaranya adalah: boleh mencium wanita non muslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 139-140)
Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah 
Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:
1. Mendirikan Partai Politik
Dengan merujuk Surat Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif) (Lihat Mengenal HT hal. 3).
Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk partai. (Lihat Mengenal HT hal. 22, 23)
Adapun pendalilan mereka dengan Surat Ali ‘Imran ayat 104 tentang wajibnya mendirikan partai politik, maka merupakan pendalilan yang jauh dari kebenaran. Adakah di antara para shahabat Rasulullah, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka yang berpendapat demikian?!
Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlomba untuk mendirikan parpol! Namun kenyataannya mereka tidak seperti itu. Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!
Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parpol terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam.
2. Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)
Berinteraksi dengan umat (Tafa’ul Ma’al Ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:
– Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hal. 24). Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyyah (fanatisme) dan loyalitas terhadap
HT.

-Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya.

Taqiyuddin An-Nabhani berkata: “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hal. 24, Terjun ke Masyarakat, hal. 7)
Betapa ironisnya, Rasulullah memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memporakporandakan kekuatannya. Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri mereka:
“Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hal. 35-36)
– Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka (Lihat Mengenal HT, hal. 25).

Demikianlah yang mereka munculkan. Namun kenyataannya, di dalam upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari negara-negara kafir. (Lihat Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 5)

– Keempat: Para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam. (Terjun Ke Masyarakat, hal. 7, Mengenal HT, hal. 16,17).
Para pembaca, inilah hakikat manhaj Khawarij yang diperingatkan Rasulullah. Tidakkah diketahui bahwa Rasulullah menjuluki mereka dengan “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka”!
Semakin parah lagi di saat mereka tambah berkomentar: “Bahkan inilah bagian terpenting dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.” (Mengenal HT, hal. 3)
Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah : “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.”
Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman z, 3/1476, no. 1847)?!
Demikian pula, tidakkah mereka renungkan sabda Rasulullah :
“Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi, jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya (nasehatnya).” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin , dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)?!
Namun sangat disayangkan, HT tetap menunjukkan sikap kepala batunya, sebagaimana yang mereka nyatakan:
“Sikap HT dalam menentang para penguasa adalah menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan, menyerang dan menentang. Tidak dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka, simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik tanpa melihat lagi hasil yang akan dicapai dan tidak terpengaruh oleh kondisi yang ada.” (Mengenal HT, hal. 26-27)
Mereka gembar-gemborkan slogan “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata haq di hadapan penguasa yang zalim.” Namun sayang sekali mereka tidak bisa memahaminya dengan baik.
Buktinya, mereka mencerca para penguasa di mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan. Padahal kandungan kata-kata tersebut adalah menyampaikan nasehat “di hadapan” sang penguasa, bukan di mimbar-mimbar dan lain sebagainya.
Tidakkah mereka mengamalkan wasiat Rasulullah yang diriwayatkan shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin di atas?!
Dan jangan terkecoh dengan ucapan mereka, “Meskipun demikian, Hizb telah membatasi aktivitasnya dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menentang para penguasa maupun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.” (Mengenal HT, hal. 28). Karena mereka pun akan menempuh cara tersebut pada tahapannya (tahapan akhir).
3. Pengambilalihan Kekuasaan (Istilaamul Hukmi)
Tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala aktivitas HT. Dengan tegasnya Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan:
“Hanya saja setiap orang maupun syabab (pemuda) Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat, kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyyah.” (Terjun ke Masyarakat, hal. 22-23)
Dalam tahapan ini, ada dua cara yang harus ditempuh:
1) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Islam, di mana sistem hukum Islam ditegakkan, tetapi penguasanya menerapkan hukum-hukum kufur, maka caranya adalah melawan penguasa tersebut dengan mengangkat senjata.
2) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Kufur, di mana sistem hukum Islam tidak diterapkan, maka caranya adalah dengan Thalabun Nushrah (meminta bantuan) kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan). (Lihat Strategi Dakwah HT, hal. 38, 39, 72)
Subhanallah! Lagi-lagi prinsip Khawarij si “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka” yang mereka tempuh.
Wahai HT, ambillah pelajaran dari perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Bahwasanya Nabi mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud melalui pengingkaran tersebut suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah I dan Rasul-Nya.
Jika ingkarul mungkar mengakibatkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan walaupun Allah membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya.
Hal ini seperti pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak, sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa…
Dan barangsiapa merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar maupun yang kecil, niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan tidak sabar atas kemungkaran, sehingga berusaha untuk menghilangkannya namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/6)
Mungkin HT berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak keluar dari empat keadaan:
Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
Seseorang yang mengatakan: “ Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini hal. 21-22)
Demikian pula, kalaulah sang penguasa itu terbukti melakukan kekufuran, maka yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penegakan hujjah dan nasehat kepadanya, bukan pemberontakan.
Adapun dalih mereka dengan hadits Auf bin Malik :
Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (membe-rontak)?”
Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian!” (HR. Muslim, 3/1481, no. 1855)
bahwa “mendirikan shalat di tengah-tengah kalian” adalah kinayah dari menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, sehingga –menurut HT– walaupun seorang penguasa mendirikan shalat namun dinilai belum menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, maka dianggap kafir dan boleh untuk digulingkan!
Ini adalah pemahaman sesat dan menyesatkan.
Para pembaca, tahukah anda dari mana ta‘wil semacam itu? Masih ingatkah dengan landasan berpikir mereka? Ya, ta`wil itu tidak lain dari akal mereka semata… Bukan dari bimbingan para ulama. Wallahul musta’an.
Akhir kata, demikianlah gambaran ringkas tentang HT dan selubung sesatnya tentang khilafah. Semoga menjadi titian jalan untuk meraih petunjuk Ilahi. Amin…
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.)
========================================
1 Menolak sifat-sifat Allah  dengan ta`wil, kecuali beberapa sifat saja. (ed)
2 Lanjutan riwayat tersebut: “Dan sungguh aku telah melihat Nabi n mengusap pungggung khufnya.” (ed)
Barokallohufiikum !

Agama Islam Adalah Agama Rahmat

Oleh
Al-Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Agama Islam adalah Agama Allâh Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya :

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Apabila datang pertolongan Allâh dan kemenangan. Dan engkau melihat manusia masuk ke dalam Agama Allâh dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.[an-Nasr/110:1-3]

Firman Allâh Azza wa Jalla:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Apakah selain Agama Allâh (Islam) yang mereka cari? Padahal kepada-Nya berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan keta’atan maupun dengan terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan. [Ali Imrân/3:83]

Firman Allâh Azza wa Jalla:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) Agama Allâh jika memang kamu beriman kepada Allâh dan hari akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman keduanya disaksikan oleh segolongan dari orang-orang yang beriman. [an-Nûr/24:2]

Sedangkan Allâh Rabbul ‘alamin disifatkan dengan rahmah, dan rahmah-Nya sangat luas sekali meliputi segala sesuatu, baik bersifat umum untuk semua mahluk-Nya termasuk kaum kuffar maupun secara khusus hanya untuk hamba-hamba-Nya yang Mu’min saja. Rahmah-Nya mengalahkan kemurkaan dan kemarahan-Nya. Maka segala kebaikan dunia dan akherat adalah dari rahmah-Nya.

Firman Allâh Azza wa Jalla:

قُلْ لِمَنْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ قُلْ لِلَّهِ ۚ كَتَبَ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۚ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Katakanlah, “Kepunyaan siapakah segala yang di langit dan di bumi ?” Katakanlah, “Kepunyaan Allâh.” Dia (Allâh) telah menetapkan atas Diri-Nya rahmah. Sungguh Dia akan mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan lagi terhadap (kejadian)nya. (Akan tetapi) orang-orang yang merugikan dirinya mereka tidak beriman (kepada hari kiamat)”. [al-An’âm/6:12]

Firman Allâh Azza wa Jalla:

وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Apabila datang kepadamu orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, maka katakanlah: “Salâmun ‘alaikum”. Rabbmu telah menetapkan atas Diri-Nya rahmah. Sesungguhnya barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan kejahatan (dosa) dengan sebab kejahilan(nya)[1] , kemudian sesudah itu dia bertaubat dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [al-An’âm/6:54]

Dua ayat yang mulia ini yang menjelaskan bahwa Rabbul ‘alamin telah menetapkan Diri-Nya rahmah telah ditafsirkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى الْعَرْشِ: إِنَّ رَحْمَتِيْ تَغْلِبُ غَضَبِيْ.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau telah bersabda, “Tatkala Allâh telah menciptakan mahluk Dia menulis di Kitab-Nya[2] dan Dia menulis atas Diri-Nya[3] dan tulisan itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy(Nya): Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku”. [HSR. Bukhari (3194, 7404 –dan ini lafazhnya-, 7422, 7453, 7553 & 7554) dan Muslim (2751) dan lain-lain]

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ

Dan Rabbmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. [al-An’âm/6:133].

Firman Allâh Azza wa Jalla:

وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ

Dan Rabbmu Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat. [al Kahfi/17:58].

Firman Allâh Azza wa Jalla:

فَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ رَبُّكُمْ ذُو رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُهُ عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ

Maka jika mereka mendustakanmu katakanlah: “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas, dan azabnya tidak dapat ditolak dari kaum yang berdosa”. [al-An’âm/6:147]

Kemudian beberapa hadits di bawah ini menjelaskan kepada kita akan luasnya rahmat Allâh sebagaimana beberapa firman Allâh di atas :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الرَّحْمَةَ يَوْمَ خَلَقَهَا مِائَةَ رَحْمَةٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً وَأَرْسَلَ فِيْ خَلْقِهِ كُلِّهِمْ رَحْمَةً وَاحِدَةً. فَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ بِكُلِّ الَّذِيْ عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الرَّحْمَةِ لَمْ يَيْئَسْ مِنَ الْجَنَّةِ وَلَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ بِكُلِّ الَّذِيْ عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الْعَذَابِ لَمْ يَأْمَنْ مِنَ النَّارِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata : Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh telah menciptakan seratus rahmat pada hari Dia menciptakannya. Maka Dia menahan di sisi-Nya yang sembilan puluh sembilan rahmat, sedangkan yang satu rahmat Dia kirim (Dia berikan) untuk seluruh mahluk-Nya. Maka kalau sekiranya orang yang kafir itu mengetahui setiap rahmat yang ada di sisi Allâh, niscaya dia tidak akan pernah putus asa untuk memperoleh surga. Demikian juga kalau sekiranya orang mu’min itu mengetahui setiap azab yang ada di sisi Allâh, niscaya dia tidak akan pernah merasa aman dari masuk ke dalam neraka”. [HR Bukhari (6469 dan ini adalah lafazhnya) dan Muslim (2752)]
.
Dalam salah salah satu riwayat Bukhâri (6000) dengan lafazh sebagai berikut:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ، فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ جُـزْءًا وَأَنْزَلَ فِي اْلأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا، فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ حَتَّى تَرْفَعَ الْفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيْبَهُ.

Bahwasanya Abu Hurairah telah berkata: Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Allâh telah menciptakan seratus bagian rahmat. Maka Dia menahan di sisi-Nya yang sembilan puluh sembilan bagian, sedangkan yang satu bagian Dia turunkan ke bumi. Maka dari yang satu bagian itulah mahluk saling berkasih sayang, sehingga seekor kuda mengangkat kakinya karena khawatir mengenai (menginjak) anaknya”.

Adapun lafazh dari riwayat Imam Muslim sebagai berikut:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ وَأَنْزَلَ فِي اْلأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا، فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ تَتَرَاحَمُ الْخَلاَئِقُ حَتَّى تَرْفَعَ الدَّابَّةُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيْبَهُ

Bahwasanya Abu Hurairah telah berkata: Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Allâh telah menciptakan seratus bagian rahmat. Maka Dia menahan di sisi-Nya yang sembilan puluh sembilan bagian, sedangkan yang satu bagian Dia turunkan ke bumi. Maka dari yang satu bagian itulah para mahluk saling berkasih sayang, sehingga seekor binatang mengangkat kakinya khawatir mengenai (menginjak) anaknya”.

Dan dalam salah satu riwayat yang lain bagi Imam Muslim dengan lafazh sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ، مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ، فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا، وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: ”Sesungguhnya Allâh mempunyai seratus rahmat yang Dia turunkan. Di antaranya satu rahmat (dibagi) di antara jin dan manusia serta semua binatang. Maka dengan sebab satu rahmat itulah mereka saling mengasihani dan berkasih sayang, dan dengan sebabnya binatang buas mengasihi anaknya. Dan Allâh menunda (pemberian) yang sembilan puluh sembilan rahmat lagi supaya berkasih sayang dengan sebabnya hamba-hamba-Nya[4] pada hari kiamat”.

Hadits yang sama dari jalan yang lain:

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَمِنْهَا رَحْمَةٌ بِهَا يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ بَيْنَهُمْ وَتِسْعَةٌ وَتِسْعُوْنَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Dari Salman al Fârisiy, dia berkata: Telah bersabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ”Sesungguhnya Allâh mempunyai seratus rahmat. Maka di antaranya satu rahmat, yang dengan sebabnya maka berkasih sayanglah sekalian mahluk di antara mereka. Sedangkan yang sembilan puluh sembilan lagi (akan diturunkan) pada hari kiamat” [HR. Imam Muslim, no. 2753]

Dan dalam salah satu riwayat Muslim dengan lafazh sebagai berikut:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِائَةَ رَحْمَةٍ، كُلُّ رَحْمَةٍ طِبَاقَ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ فَجَعَلَ مِنْهَا فِي اْلأَرْضِ رَحْمَةً فَبِهَا تَعْطِفُ الْوَالِدَةُ عَلَى وَلَدِهَا وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أَكْمَلَهَا بِهَذِهِ الرَّحْمَةِ.

Dari Salman (al-Farisi), dia berkata : Telah bersabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya Allah telah menciptakan seratus rahmat pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Setiap satu rahmat setingkat di antara langit dengan bumi. Maka Allâh telah menjadikan di bumi satu rahmat. Maka dengan sebab yang satu rahmat itulah seorang ibu mengasihi anaknya, dan juga binatang buas dan burung-burung sebagiannya (saling mengasihi) sebagian yang lainnya. Maka apabila datang hari kiamat Allâh akan menyempurnakan rahmat ini (yakni yang sembilan puluh sembilan lagi khusus untuk orang-orang mu’min)”.

Hadits yang lain lagi:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْيِ قَدْ تَحْلُبُ ثَدْيَهَا تَسْقِيْ إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا: لاَ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ. فَقَالَ: الَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu (dia berkata), “Telah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para tawanan perang wanita. Maka tiba-tiba di antara tawanan wanita itu ada seorang wanita yang menyusui. Maka apabila dia mendapati seorang bayi di dalam tawanan itu dia segera mengambilnya dan mendekapkannya keperutnya lalu dia menyusuinya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, ”Apakah kamu mengira bahwa wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api ?”.
Kami menjawab: ”Tidak akan. Padahal dia mampu untuk tidak melemparkannya”.
Maka beliau bersabda, ”Allâh lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya dari wanita ini kepada anaknya”. [HR. Bukhari, no.5999 dan ini adalah lafazhnya) serta Muslim, no.2754].

Hadits yang lain lagi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ.

Dari Abu Hurairah (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ”Kalau sekiranya orang Mu’min itu mengetahui siksaan yang ada di sisi Allâh, niscaya tidak ada seorangpun Mu’min yang berharap akan surga-Nya. Dan kalau sekiranya orang kafir itu mengetahui rahmat yang ada di sisi Allâh, niscaya tidak ada seorangpun kafir yang putus asa dari surga-Nya” (HR. Muslim, no. 2755).

Ketika kita telah mengetahui berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, bahwa Agama Islam ini adalah Agama Allâh, dan Allâh Rabbul ‘alamin disifatkan dengan rahmat, sedangkan rahmat-Nya meliputi segala sesuatunya termasuk di dalamnya adalah Agama-Nya Islam, maka Agama Islam adalah Agama rahmat berdasarkan dalil-dalil naqliyyah dan aqliyyah sebagaimana beberapa catatan penting yang akan saya paparkan setelah ini, insyaa Allâhu Ta’ala. Tetapi sebelumnya, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu –untuk melapangkan jalan ilmiyyah risalah kita ini- keadaan manusia sebelum diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

KEADAAN MANUSIA SEBELUM NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DIUTUS
Saudaraku, ketahuilah, sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di utus untuk seluruh mahluk –manusia dan jin- dan menjadi rahmat bagi sekalian alam, sungguh Allâh telah sangat marah dan murka kepada penduduk bumi –Arabnya dan ‘ajam[5] nya- sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَاتَ يَوْمٍ فِيْ خُطْبَتِهِ: أَلاَ إِنَّ رَبِّيْ أَمَرَنِيْ أَنْ أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمَنِيْ يَوْمِيْ هَذَا كُلُّ مَالٍ نَحَلْتُهُ عَبْدًا حَلاَلٌ، وَإِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ، فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا. وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلاَّ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

Dari ‘Iyadh bin himaar al Mujâsyi’iy (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda pada suatu hari di dalam khotbahnya, “Ketahuilah, sesungguhnya Rabbku telah memerintahkan kepadaku, agar aku mengajarkan kamu apa saja yang kamu tidak tahu dari apa-apa yang telah Dia ajarkan kepadaku pada hari ini”.
(Allâh berfirman), “Segala harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku adalah halal. Dan sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-hamba-Ku semuanya mereka dalam keadaan bertauhid. Kemudian syaithan datang kepada mereka membawa pergi mereka dari agama (tauhid) mereka. Syaithan telah mengharamkan atas mereka apa saja yang Aku halalkan bagi mereka. Dan syaithan telah memerintahkan kepada mereka untuk melakukan kesyirikan kepada-Ku (menyekutukan-Ku), padahal Aku tidak pernah menurunkan keterangannya”.
(Beliau n bersabda), “Sesungguhnya Allâh melihat kepada penduduk bumi, maka Allâh telah sangat marahnya kepada mereka, baik kepada orang-orang Arabnya maupun orang-orang ‘ajamnya, kecuali sisa-sisa Ahli Kitab…”. [HR. Muslim, no. 2865 dan lain-lain]

Di dalam hadits yang mulia ini terdapat sejumlah ilmu, di antaranya saya sebutkan:
1. Bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan segala sesuatunya kepada umatnya dari urusan agama mereka. Maka barangsiapa mengatakan, bahwa beliau belum mengajarkan ini dan itu dan seterusnya sehingga perlu ditambahkan oleh ra’yu mereka, maka sesungguhnya dia telah menuduh Nabi yang mulia n telah berkhianat kepada Rabbul ‘alamin dalam menyampaikan risalah-Nya dan amanat-Nya kepada umat manusia sebagaimana akan datang keluasannya di risalah kita ini tentang kesempurnaan agama Islam, insyaa Allâhu Ta’ala.

2. Pengingkaran dari Rabbul ‘alamin kepada manusia seperti kepada kaum musyrikin yang telah mengharamkan beberapa jenis hewan yang Allâh telah halalkan. Dhâbith (ketentuan atau ketetapan)nya, bahwa apa saja yang Allâh dan Rasul-Nya telah halalkan tidak bisa menjadi haram karena diharamkan oleh manusia. Dhâbith (ketentuan atau ketetapan)nya lagi, bahwa yang halal dan haram adalah apa yang Allâh dan Rasul-Nya telah halalkan dan haramkan.

3. Bahwa Rabbul ‘alamin telah menciptakan manusia berdasarkan agama tauhid (Islam) sebagaimana akan datang penjelasannya di risalah kita ini, insyaa Allâhu Subhanahu wa Ta’ala

4. Bahwa syaithan selalu menghalangi manusia dari agama asli mereka yaitu agama tauhid (Islam), dan mengajak mereka pergi meninggalkannya kepada agama-agama dan ajaran-ajaran buatan manusia yang intinya adalah penyembahan kepada syaithan.

5. Sebelum Allâh mengutus hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada zaman fatrah[6] –kekosongan para Rasul- manusia berada dalam kejahilan yang sangat dalam dan dalam kedurhakaan yang sangat besar, maka sungguh Allâh telah sangat marahnya kepada mereka –Arabnya dan ‘ajamnya- maka ketika itu manusia terbagi menjadi dua golongan:

Pertama: Ahli Kitab (=Yahudi dan Nashara).
Mereka telah kufur kepada Allâh, telah merobah agama Allâh, telah mentahrif[7] Kitab Allâh –Taurat dan Injil- dan mereka telah mengadakan penyembahan kepada manusia dan seterusnya dari kerusakan-kerusakan besar yang terjadi pada mereka. Kecuali sedikit sekali dari sisa-sisa Ahli Kitab –sebagaimana telah dikabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini- yang masih berpegang dengan agama mereka yang haq (Islam) yang belum dirobah yang di bawa para Nabi dan Rasul mereka seperti Musa dan Isa shalawaatullah wa salaamuhu ‘alaihim.

Kedua: Bangsa Arab dan ‘ajam.
Mereka adalah kaum musyirikin dari bangsa Arab dan bangsa ‘ajam termasuk di dalam kaum filsafat Yunani, India dan Cina. Mereka telah kufur kepada Allâh, mereka telah beribadah kepada selain Allâh, mereka telah melakukan kesyirikan besar kepada Allâh, mereka telah mengadakan penyembahan kepada berbagai macam sesembahan yang mereka anggap baik dan mereka sangka bermanfa’at seperti kepada matahari, bulan, bintang-bintang, berhala-berhala, kubur-kubur dan lain sebagainya.

Demikianlah keadaan manusia ketika itu –Ahli Kitabnya dan umminya dari bangsa Arab dan ‘ajam- berada di dalam kejahilan yang sangat dalam dan kerusakan yang sangat besar. Dari keyakinan-keyakinan yang mereka sangka benar, tetapi itulah kekufuran dan kesyirikan yang sangat besar. Dari perkataan-perkataan yang mereka sangka sebagai ilmu, tetapi itulah kebodohan yang sangat dalam. Dari perbuatan-perbuatan yang mereka sangka kebaikan, tetapi itulah kerusakan yang hakiki. Karena itulah zaman itu dinamakan dengan zaman jahiliyyah yang umum dan merata kepada seluruh umat manusia, yaikni sebelum Allâh mengutus hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua umat manusia dan jin dan menjadi rahmat untuk sekalian alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Yakni dengan sengaja. Karena setiap kejahatan atau dosa dinamakan dengan kebodohan (jahil). Maka dari itu kebodohan (kejahilan) di dalam ayat yang mulia ini bukan berarti tidak tahu atau tidak sengaja.
[2]. Yakni di lauhul mahfuzh.
[3]. Yakni Allâh telah menetapkan atas Diri-Nya sebagaimana firman Allâh di dalam dua ayat di atas.
[4]. Yakni hamba-hamba-Nya yang mu’min. Adapun orang-orang kafir dan musyrik maka tidak ada rahmat lagi bagi mereka pada hari kiamat.
[5]. Orang ‘ajam ialah setiap orang yang bukan orang Arab.
[6]. Surat Al Maa-idah ayat 19.
[7]. Tahrif adalah merobah lafazh dan makna.

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Utus Untuk Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam (1)

Oleh
Al-Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ رَحْمَةً ِللْعَالَمِيْنَ
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ:

Berikut ini sebuah risalah kecil -semoga bisa mendatangkan manfa’at besar- tentang tafsir salah satu firman Allâh Azza wa Jalla yaitu :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107].

Ayat rahmat yang sangat agung dan bersifat umum ini telah menjelaskan kepada manusia beberapa hal :
Pertama: Bahwa Allâh Jalla Dzikruhu telah mengutus hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam yang terdiri dari kelompok-kelompok mahluk seperti alam manusia, alam Malaikat, alam Jin, alam hewan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai rahmat bagi mereka semua.

Kedua: Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diciptakan dan disifatkan serta dihiasi pada diri beliau dengan rahmat.

Ketiga: Bahwa Agama yang beliau bawa –Islam- semua ajarannya adalah rahmat bagi jin dan manusia yang terkena taklif (beban) dari Rabbul ‘alamin.

Keempat: Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di utus dan datang kepada manusia dan jin dengan segala kebaikan dunia dan akherat.

Kelima: Bahwa al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat terbesar bagi mereka.

Keenam: Bahwa ayat yang mulia ini menjadi bukti terbesar kenabian dan kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dan seterusnya…

Maka saya tulis risalah ini untuk menjelaskan sebagian dari apa yang saya sebutkan tadi, dan untuk meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiyyur rahmah.

Selamat membaca dan menikmati rahmat yang sangat agung ini…!

NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI UTUS UNTUK MENJADI RAHMAT BAGI SELURUH ALAM

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107]

Ayat yang mulia ini merupakan ayat terbesar yang menjelaskan kepada manusia, bahwa Allâh telah mengutus Nabi-Nya dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Rahmat secara umum dan merata kepada semuanya. Karena lafazh al’alamîn menunjukkan makna mutlak dan umum, maksudnya rahmat untuk mereka semuanya.

Rahmat untuk alam manusia –yang Mukmin dan yang kafir-; Untuk alam Malaikat; rahmat untuk alam jin – yang Mukmin dan yang kafir – dan rahmat untuk alam hewan.

Adapun rahmat untuk yang beriman, maka Allâh l telah memberikan hidayah kepada mereka, dan memasukkan keimanan ke dalam hati mereka. Kemudian juga memasukkan mereka ke dalam surga dengan sebab amalan mereka yang telah mempraktekkan ajaran yang di bawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allâh Azza wa Jalla .

Sedangkan rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak langsung mengadzab mereka di dunia ini seperti Allâh Azza wa Jalla telah mengadzab dan membinasakan orang-orang kafir sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan Rasul.[1]

Ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa sesungguhnya Allâh telah menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat untuk seluruh alam. Yakni Allâh telah mengutusnya untuk menjadi rahmat bagi mereka semuanya. Maka barangsiapa menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, pasti dia akan berbahagia di dunia dan di akherat. Tetapi barangsiapa menolak rahmat ini dan menentangnya, pasti dia akan merugi di dunia dan di akherat.

al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Jika ada yang bertanya, ‘Rahmat apakah yang diraih oleh orang-orang yang kafir ? Maka jawabannya apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr…” (kemudian beliau rahimahullah membawakan sebagian dari apa yang ditafsirkan oleh al-Imam Ibnu Jarir yang telah saya kutip sebagiannya).

Atau yang dimaksud dengan rahmat bagi yang kafir, baik manusia maupun jin ialah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang kepada mereka dengan membawa segala kebaikan dunia dan akherat untuk kebahagian dunia dan akherat mereka. Itulah rahmat dan kebaikan yang sangat besar untuk mereka. Tetapi mereka telah menyia-nyiakannya. Akibatnya, pasti akan menimpa mereka kerugian yang sangat besar yang harus mereka tanggung bagi dunia dan akherat mereka.

Al-Imam asy-Syanqithiy rahimahullah di tafsirnya Adhwâul Bayân (4/250-251) mengatakan ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, “Allâh Azza wa Jalla telah menerangkan dalam ayat yang mulia ini, sesungguhnya Dia tidaklah mengutus Nabi yang mulia ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh mahluk-Nya, melainkan sebagai rahmat bagi mereka. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa apa yang dapat membahagiakan mereka, dan apa yang bisa mereka pergunakan untuk meraih segala kebaikan dunia dan akherat, jika mereka mengikutinya. Tetapi orang yang menyalahi dan tidak mengikuti, berarti dia telah menyia-nyiakan rahmat yang menjadi bagiannya.

Sebagian ahli ilmu telah membuat permisalan, seraya berkata, “Kalau Allâh Azza wa Jalla memancarkan mata air yang banyak untuk makhluk dan mudah di ambil, lalu (sebagian) manusia menyirami tanaman-tanaman mereka dan memberi minum kepada ternak-ternak mereka dari air itu. Dengan sebab itu, niscaya mereka akan mendapatkan nikmat yang berkesinambungan. Tetapi sebagian manusia yang lainnya, yang lalai dan malas dalam beramal, maka mereka telah menyia-nyiakan bagian mereka dari mata air tersebut. Mata air yang terpancar itu pada hakikatnya adalah bagian dari rahmat Allâh, dan merupakan nikmat untuk kedua golongan manusia tadi. Akan tetapi bagi orang yang malas, maka hal itu merupakan ujian pada dirinya, karena dia telah mengharamkan nikmat yang bermanfa’at itu untuk dirinya”.

Yang demikian telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allâh dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. [ Ibrâhîm/14: 28]

Apa yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam ayat yang mulia ini[2] , yaitu Allâh tidaklah mengutus beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawa rahmat bagi mahluk. Rahmat itu meliputi al-Qur’ânul ‘adzhîm ini. Hal ini telah dijelaskan di beberapa tempat dalam Al Qur’an, seperti firman Allâh Azza wa Jalla, (yang artinya), “Dan apakah tidak cukup bagi mereka sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab (al-Qur’an) sedang dia (al-Qur’an) dibacakan kepada mereka ? Sesungguhnya di dalam al-Qur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman”. [ al ‘Ankabût/29:51].

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِلْكَافِرِينَ

Dan kamu (Muhammad) tidak pernah mengharap agar Al Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi Al Qur’an diturunkan karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir”. [al Qashash/28:86]

Sekian perkataan al-Imam asy-Syanqithiy rahimahullah dengan ringkas.

Yang menunjukkan keumuman rahmat dalam ayat yang sedang bicarakan ini ialah hadits shahih di bawah ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ. قَالَ: إِنِّيْ لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً. (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “(Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) pernah diminta, “Wahai Rasûlullâh, do’akanlah kecelakaan/kebinasaan untuk kaum musyrikin !”Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku tidaklah di utus sebagai pelaknat, sesungguhnya aku di utus hanya sebagai rahmat.” [HR. Muslim, no. 2599]

Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat bagi manusia dan jin yang Mu’min, karena mereka telah mengambil dan memanfa’atkan rahmat dan nikmat yang sangat besar ini. Tetapi manusia dan jin yang kafir, mereka telah menolak dan menentang rahmat dan nikmat yang sangat besar ini…

Sedangkan rahmat untuk Malaikat, karena Allâh dalam al-Qur’ân juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya telah memuji, memuliakan serta menjelaskan tentang Malaikat secara detail; tentang keutamaan, kemuliaan, keta’atan, sifat-sifat, penciptaan, tugas-tugas para malaikat. Juga keimanan kepada para Malaikat merupakan salah satu rukun iman. Maka kafirlah orang yang mengingkari keimanan kepada para Malaikat walaupun hanya satu Malaikat.

Itulah rahmat yang besar bagi Malaikat!

Adapun rahmat bagi jin –Mu’minnya dan kafirnya- adalah sama seperti manusia sebagaimana telah diterangkan sebelum ini.

Adapun rahmat bagi hewan, maka al-Qur’ân dan Sunnah atau hadits telah menjelaskannya secara terperinci:

– Bahwa hewan adalah umat seperti manusia…
– Kemanfa’atan hewan bagi umat manusia…
– Hewan yang halal dan yang haram dimakan dagingnya…
– Hewan yang haram dan halal di bunuh…
– Hak-hak hewan…
– Haramnya menyiksa hewan…
– Berbuat kebaikan dan berkasih-sayang kepada hewan dan seterusnya.

Itulah rahmat bagi mahluk yang bernama hewan…!

Karena itu tidaklah aneh, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa para Malaikat dan penduduk langit dan bumi sampai-sampai semut-semut yang berada di lobang-lobangnya dan ikan-ikan di air, memohonkan ampun kepada Rabbul ‘alamin untuk para Ulama yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.[3]

Kenapa demikian…? Di antara jawabannya :

Pertama, karena para Ulama telah mengajarkan ilmu kepada manusia akan hak-hak hewan. Sehingga dengan sebab itu manusia kenal dan tahu hak-hak hewan secara terperinci sebagaimana tadi telah saya isyaratkan.

Kedua, para Ulama sebagai penyambung lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah di utus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam dan salah-satunya adalah alam hewan. Jadi, para Ulama telah menyampaikan dan menyebarkan rahmat untuk hewan ini kepada manusia. Sehingga manusia tidak menzhalimi hak-hak hewan, dan mereka menempatkannya pada tempatnya masing-masing. Semua berjalan di atas landasan ilmu dan keadilan, bukan di atas kejahilan dan kezhaliman. Sehingga hak-hak hewan berjalan dengan penuh keadilan dan jauh dari kezhaliman.

Itulah rahmat yang sangat besar untuk hewan…!

Saya takjub ketika mendapati al-Imam al-Bukhâri –sebagai salah seorang amîrul mu’minin fil hadits- telah memberikan judul bab dalam kitab shahihnya di bagian Kitâbul Adab dengan judul bab : Baabu Rahmatin Nas wal Baha’im (Bab: Mengasihi/menyayangi manusia dan hewan)

Kemudian al-Imam Bukhâri telah mentakhrij dan meriwayatkan dalam bab ini sebanyak enam hadits -dua di antaranya akan saya bawakan sekarang, sedangkan sisanya akan saya bawakan pada bab yang kedua dari risalah ini, insyââ Allâhu Ta’ala-:

Hadits pertama (no: 6009):

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بِطَرِيْقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِيْ كَانَ بَلَغَ بِيْ. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فِيْ كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Ketika seorang laki-laki sedang berjalan di suatu jalan, dia sangat kehausan sekali, lalu dia mendapati sebuah sumur, segera dia turun ke sumur itu dan meminum (airnya). Kemudian ketika dia keluar dari sumur, tiba-tiba ada seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya sembil menjilati tanah karena kehausan.
Laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya anjing ini telah menderita kehausan seperti yang pernah aku rasakan tadi”. Lalu laki-laki itu turun kembali ke sumur, kemudian dia penuhi sepatu botnya dengan air, (setelah itu dia keluar dari sumur) sambil menggigit sepatu botnya dengan mulutnya. Kemudian dia minumkan ke anjing itu, maka Allâh bersyukur kepadanya dan mengampuni (dosa-dosa)nya”.
Para Shahabat bertanya: “Wahai Rasûlullâh, sungguhkah (apakah) kita akan mendapat pahala apabila kita berbuat kebaikan kepada binatang?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pada setiap mahluk yang hidup apabila kamu berbuat kebaikan kepadanya, maka kamu akan mendapat pahala”[4].

Saya tertegun ta’jub ketika mendapati al-Imam al-Bukhâri membawakan hadits ini –selain di kitab shahihnya- di kitabnya Adabul Mufrad (378) dengan judul bab: Bâbu Rahmatil Bahâ’im (Bab: Mengasihi/menyayangi hewan)

Hadits kedua (no: 6012):

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ غَرَسَ غَرْسًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tidak seorang Muslim pun yang menanam sebuah tanaman, kemudian tanamannya itu dimakan oleh manusia atau binatang, melainkan dia mendapatkan (pahala) shadaqah dengannya”.[5]

Itulah dua buah hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah yang menunjukkan akan adanya rahmatul bahâim atau kasih-sayang dan berbuat kebaikan kepada hewan.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini yang menjadi rahmatan lil’alamin ketika ditanya oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum :
“Wahai Rasûlullâh, sungguhkah kita akan mendapat pahala apabila kita berbuat kebaikan kepada binatang ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pada setiap mahluk yang hidup apabila kamu berbuat kebaikan kepadanya, maka kamu akan mendapat pahala.”

Di antara mahluk hidup adalah hewan…! Dari sini kita mengetahui dengan ilmu yakin, bahwa Islam-lah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar kasih-sayang dan berbuat kebaikan kepada binatang atau hewan. Islam telah menetapkan hal itu jauh sebelum orang-orang kafir berbicara dengan lisan dan tulisan mereka.

Tetapi yang sangat kita sayangkan, sebagian dari mereka yang menyandarkan diri kepada Islâm, mereka yang telah terbenam dalam taqlid buta kepada orang-orang kafir –karena ketidaktahuan mereka terhadap Islâm dan apa yang mereka saksikan dari perbuatan sebagian kaum muslimin yang tidak islami dalam bab ini- mengatakan, bahwa orang-orang kafirlah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar kasih-sayang kepada hewan!? Subhaanallah…! Begitu asingkah Islam pada ahlinya…?!

Para pembaca yang budiman, saya akan mengajak para pembaca untuk melanjutkan penelitian terhadap hadits-hadits yang lain dalam bab ini yang jumlahnya tidak sedikit, agar kita bisa berbicara dan berbuat berdasarkan bashîrah (ilmu). Di antara hadits-hadits tersebut yang saya tahu dan telah saya teliti sah atau tidaknya ialah :

Hadits ketiga:

عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: مَرَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعِيْرٍ قَدْ لَحِقَ ظَهْرُهُ بِبَطْنِهِ فَقَالَ: اتَّقُوا اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَارْكَبُوْهَا صَالِحَةً وَكِلُوْهَا صَالِحَةً. (رواه أبوداود)

Dari Sahl bin Handzaliyyah, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seekor onta yang punggungnya telah merapat ke perutnya, maka beliau bersabda, “Takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini yang tidak dapat berbicara kepada kamu, naikilah dia dengan baik dan (kalau tidak dikendarai) maka biarkanlah (istirahatkanlah) dia dengan baik.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, no: 2548]

Dalam riwayat lain yang telah dikeluarkan oleh Imam Ahmad dimusnadnya (4/180-181):

وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَاجَةٍ فَمَرَّ بِبَعِيْرٍ مُنَاخٍ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ ثُمَّ مَرَّ بِهِ آخِرَ النَّهَارِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ فَقَالَ: أَيْنَ صَاحِبُ هَذَا الْبَعِيْرِ؟ فَابْتُغِيَ فَلَمْ يُوجَدْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اتَّقُوا اللَّهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ ثُمَّ ارْكَبُوهَا صِحَاحًا وَارْكَبُوهَا سِمَانًا – كَالْمُتَسَخِّطِ آنِفًا -…

“ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk suatu keperluan, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seekor onta yang ditambatkan di depan pintu masjid dari awal siang. Kemudian beliau melewatinya lagi pada akhir siang dan keadaan onta itu masih sama seperti tadi, maka beliau bersabda, “Di mana pemilik onta ini?”. Maka dicarilah pemiliknya tetapi tidak didapatkan, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini yang tidak dapat berbicara kepada kamu, naikilah dia dengan baik dan kenyang –beliau sepertinya tidak menyukai dan tidak meridhai perbuatan itu-…”.

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “takutlah kamu kepada Allâh terhadap binatang-binatang ini…” yakni akan dosa dan murka Allâh kepada kamu karena kamu telah menganiaya binatang-binatang ini.

Sabda beliau, “…yang tidak dapat berbicara kepada kamu…” yakni hewan-hewan itu tidak dapat berbicara kepada kamu dengan bahasa kamu, bahwa dia lapar, haus, lelah dan sakit. Penderitaan dan kesusahan yang menimpanya disebabkan kamu telah menzhaliminya, seperti kamu telah menyiksanya atau melelahkannya atau melaparkannya dan seterusnya yang masuk ke dalam bab kezhaliman.

Sabda beliau, “…naikilah dia dengan baik…” yakni naikilah dan kendarailah hewan ini dengan cara yang baik, janganlah dia dibebani lebih dari kemampuannya.

Sabda beliau, “…dan (kalau tidak dikendarai) maka biarkanlah (istirahatkanlah) dia dengan baik” yakni kalau kamu tidak sedang menaikinya atau mengendarainya, maka biarkanlah dia istirahat dengan cara yang baik dan berikanlah kepadanya istirahat dan makanan yang cukup.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diintisarikan dari tafsir Ibnu Jarir dalam menafsirkan ayat yang mulia ini.
[2]. Yakni ayat yang sedang kita bahas ini tentang diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
[3]. Makna dari hadits Abu Umamah Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Tirmidzi (2685) dan hadits Abu Darda’ Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud (3641), Tirmidzi (2682), Ibnu Mâjah (223) dan Ahmad (5/196).
[4]. Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Muslim (2244).
[5]. Hadits ini telah dikeluarkan juga oleh Muslim (1553).

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Sebagai Nabiyyur Rahmah(Nabi Rahmat) (2)

Oleh
Al-Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Didalam bab : Rahmatil Walad wa Taqbilihi wa Mu’anaqatihi (Bab : Menyayangi Anak dan Menciumnya Serta Memeluknya) Imam al-Bukhari membawakan enam buah hadits yaitu :
Hadits pertama (no: 5994) :

عَنْ ابْنِ أَبِيْ نُعْمٍ قَالَ: كُنْتُ شَاهِدًا ِلابْنِ عُمَرَ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ دَمِ الْبَعُوْضِ فَقَالَ: مِمَّنْ أَنْتَ؟ فَقَالَ: مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ. قَالَ: انْظُرُوْا إِلَى هَذَا يَسْأَلُنِيْ عَنْ دَمِ الْبَعُوْضِ وَقَدْ قَتَلُوا ابْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا.

Dari Ibnu Abu Nu’m[18] dia berkata, Saya pernah hadir di sisi Ibnu Umar ketika datang seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang (hukum) darah nyamuk (najis atau tidak)?
Maka beliau bertanya (kepada orang itu), “Engkau orang mana?”.
Laki-laki itu menjawab, “Orang Irak”.
Ibnu Umar berkata, “Lihatlah orang ini yang bertanya tentang (hukum) darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh cucu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[19] , dan saya telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keduanya (yakni Hasan dan Husain) adalah rizqi yang Allâh telah memberikannya kepadaku dari bagian duniaku.”

Hadits ini dibawakan oleh al-Imam untuk menjelaskan kasih-sayang atau rahmat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian dalam kepada anak-cucu beliau. Sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, bahwa kedua orang cucu beliau ini merupakan rizqi dari bagian dunia beliau. Maka di antara faedah hadits ini dan hadits sebelumnya ialah: Menyayangi dan mencintai anak-cucu sebagaimana perbuatan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tidak melanggar syari’at.

Hadits kedua (no: 5995):

عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: حَدَّثَنِيْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِيْ بَكْرٍ: أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهُ قَالَتْ: جَاءَتْنِي امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ تَسْأَلُنِيْ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِيْ غَيْرَ تَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا، فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ. فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ فَقَالَ: مَنْ يَلِي مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ شَيْئًا فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ

Dari Zuhriy, dia berkata, Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Bakar (dia berkata): Bahwasanya Urwah bin Zubair telah mengabarkan kepadanya: Sesungguhnya Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepadanya: “Pernah datang kepadaku seorang wanita bersama kedua anak perempuannya meminta (sesuatu) kepadaku, tetapi aku tidak mempunyai sesuatu selain sebuah korma, maka aku berikan kepadanya. Kemudian dia membagi sebuah korma itu untuk kedua anaknya (sedangkan dia sendiri tidak dapat). Kemudian dia berdiri lalu pergi. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka aku menceritakan (kejadian itu) kepada beliau, maka beliau bersabda: “Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan ini, lalu dia berbuat ihsan (kebaikan) kepada mereka, niscaya mereka akan menjadi tabir baginya dari api neraka”[20].

Lafazh ihsân di dalam hadits ini merupakan lafazh yang bersifat umum yang mencakup semua kebaikan:

Pertama: Berbuat ihsân kepada mereka tidak terbatas hanya kepada yang wajib-wajib saja seperti mendidik dan memberi nafkah. Akan tetapi masuk ke dalam ihsân amal-amal yang sunat seperti di dalam hadits ini, wanita itu telah mengutamakan kedua anaknya dari dirinya sendiri.

Kedua: Adapun yang masuk ke dalam ihsân di antaranya ialah:
1. Mendidiknya dengan pendidikan agama.
2. Mengurus dan merawatnya dari kecil.
3. Memberinya nafkah, seperti makan, minum dan pakaian dan lain-lain.
4. Mengajarkan adab dan akhlaq yang mulia kepada mereka.
5. Bersabar dalam mendidik dan mengurus mereka dan bersabar atas gangguan-gangguan mereka.

Ketiga: Tentunya dengan syarat, bahwa perbuatan ihsan itu harus disetujui oleh Syara’ (Agama) dan tidak menyalahinya sebagaimana telah dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar ketika mensyarahkan hadits ini : “Syarat ihsan itu ialah yang menyetujui Syara’ tidak menyalahinya”.

Hadits ketiga (no: 5996):

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ عَلَى عَاتِقِهِ فَصَلَّى فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَ وَإِذَا رَفَعَ رَفَعَهَا

Dari Abu Qatâdah, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kami sedangkan Umamah binti Abil ‘Ash berada dipunggungnya, kemudian beliau shalat (mengimami kami), maka apabila beliau ruku’ beliau meletakkan Umamah, kemudian apabila beliau bangkit beliau mengangkatnya (kembali)”.[21]

Dan begitulah seterusnya, apabila beliau sujud beliau meletakkan Umâmah, dan apabila beliau bangkit dari sujud beliau kembali menggendongnya sebagaimana telah dijelaskan dalam riwayat yang lain.[22]

Di antara faedah dari hadits yang mulia ini ialah:
Pertama: Mencurahkan kasih-sayang kepada anak-cucu dan secara umum kepada anak-anak kecil.

Kedua: Selain kita diperintah untuk mendidik mereka dengan pendidikan agama yang benar yang berjalan di atas al-Kitab dan al-Hadits menurut pemahaman Salaful ummah, kita juga diperintah untuk menjaga dan memelihara fisik mereka. Lihatlah kepada perbuatan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam, alangkah besarnya rahmat atau kasih-sayang beliau dan pemeliharaan beliau secara fisik kepada Umâmah, ketika beliau ruku atau sujud beliau meletakkan Umâmah agar tidak terjatuh ke tanah yang akan merusak fisiknya. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu sedang shalat mengimami manusia dan dalam kekhusyuannya, tetapi semua itu tidak menghalangi beliau untuk tetap menjaga Umâmah.

Itulahlah rahmat yang sangat besar yang beliau tebarkan kepada umatnya !

Sungguh hadits yang mulia ini menjadi sebuah contoh teladan yang sangat berharga sekali bagi kita kaum muslimin dari Nabi yang pada diri beliau terdapat uswatun hasanah, khususnya pada zaman ini, di mana sering terjadi kekerasan pada anak-anak. Kita melihat kekerasan kepada anak-anak terjadi di mana-mana, di keluarga, di masyarakat, di sekolah dan seterusnya.

Maka akan selalu kita katakan kepada manusia pada setiap masalah kehidupan, bahwa Islamlah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar semuanya, di antaranya kasih-sayang kepada anak-anak, dan Islam pun telah melarang melakukan kekerasan kepada mereka yang berakibat merusak kejiwaan dan fisik mereka. Sayang sekali, ajaran yang mulia ini tidak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin sehingga mereka terbenam ke dalam taqlid buta kepada orang-orang kuffar.

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya orang-orang kuffar di barat dan di timur tidak akan sanggup berbicara tentang kasih-sayang kepada anak-anak dan larangan melakukan kekerasan kepada mereka, kecuali setelah mereka melihat ajaran Islam dalam bab ini seperti kebiasan mereka dalam bab-bab yang lainnya, walaupun mereka tidak mau mengakuinya dengan lisan dan tulisan dan perbuatan mereka. Tetapi sebagaimana kebiasan orang-orang kuffar –karena tidak dilandasi oleh keimanan kepada Allâh dan Rasul-Nya- mereka telah berlebihan dan melampaui batas dari apa yang dikehendaki oleh Islam.

Hadits keempat (no: 5997):

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَبَّلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيْمِيُّ جَالِسًا فَقَالَ الأَقْرَعُ: إِنَّ لِيْ عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا. فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium Hasan bin Ali sedangkan di sisi beliau ada Aqra’ bin Haabis at-Tamimiy lagi duduk, maka berkata Aqra’, “Saya mempunyai sepuluh orang anak tidak pernah saya mencium seorangpun di antara mereka”.
Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepada Aqra’ kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa yang tidak penyayang pasti tidak akan disayang”[23].
Perhatikanlah rahmat Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak! Baru urusan cium-mencium –apalagi yang selainnya-beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak penyayang pasti tidak akan disayang”.

Kemudian perhatikanlah hadits selanjutnya!

Hadits kelima (no: 5998):

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما قَالَتْ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: تُقَبِّلُوْنَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوَ أَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ.

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Datang seorang a’rabiyyun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, ‘Kamu biasa mencium anak-anak kamu sedangkan kami tidak pernah mencium mereka.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa dayaku untuk menolongmu ketika Allâh telah mencabut kasih-sayang dari hatimu”[24].

Hadits keenam (no: 5999):

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْيِ قَدْ تَحْلُبُ ثَدْيَهَا تَسْقِيْ إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ ؟ قُلْنَا: لاَ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ فَقَالَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pernah didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para tawanan perang wanita dan anak-anak, maka tiba-tiba ada seorang tawanan wanita yang selalu menyusui (mencari anaknya), apabila dia mendapatkan seorang bayi di dalam tawanan, maka (segera) mengambilnya dan merapatkan keperutnya kemudian menyusuinya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, ‘Apakah kamu mengira wanita ini akan melemparkan anaknya ke api ?’
Kami menjawab, “Tidak, dan dia sanggup untuk tidak melemparkannya”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allâh lebih rahim kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya”[25].

Hadits ini dibawakan oleh al Imam sesuai dengan bab yang beliau rahimahullah berikan yaitu kasih-sayang kepada anak. Dalam hadits yang mulia ini terdapat taqrîr (persetujuan) dan qaul (sabda) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya yang demikian dalamnya. Dia mencarinya kesana-kemari ketika anak itu hilang, dan menyusuinya ketika anak itu membutuhkan asi (air susu ibu), dan tidak mungkin seorang ibu akan mencelakakan anaknya…

Itulah enam buah hadits telah dibawakan oleh al Imam dalam bab (18) rahmatul walad…

Kemudian masih dalam kitab yang sama kitabul adab dari kitab shahih beliau bab (20) dengan judul bab : Bâbu Qatlil Walad Khasyyata an Ta’kula Ma’ahu (Bab: Membunuh anak karena takut makan bersamanya (takut miskin)

Kemudian al Imam membawakan sebuah hadits (no: 6001):

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ قَالَ: ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ. وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَصْدِيْقَ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُوْنَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ الآيَةَ.

Dari Abdullah (bin Mas’ud), dia berkata, “Saya pernah bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, dosa apakah yang paling besar ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Engkau menjadikan bagi Allâh tandingan padahal Dia yang telah menciptakanmu”.
Saya bertanya lagi, ‘Kemudian apalagi ?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh anakmu karena takut makan bersamamu (karena engkau takut miskin).’
Saya bertanya lagi, ‘Kemudian apalagi ?’ Beliau menjawab, ‘Engkau berzina dengan istri tetanggamu’.
Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat membenarkan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (Dan mereka yang tidak menyeru (menyembah) tuhan yang lain bersama Allâh…).[26]

Saya tutup bagian kedua ini dengan sebuah hadits yang sangat agung lagi sangat besar dari perintah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita untuk menyebarkan dan menebarkan rahmat kepada penduduk bumi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ (رواه أبوداود والترمذي وغيرهما)

Dari Abdullah bin Amr, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh ar-Rahman, maka sayangilah penduduk bumi, niscaya Allâh yang berada di atas langit akan menyayangi kamu[27] “. (Hadits shahih lighairihi riwayat Abu Dawud (4941) dan Tirmidzi (1924) dan yang selain keduanya.[28]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[18]. Anak beliau Ibrahim bin Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari budak beliau Maria al Qibthiyyah.
[19]. Yang namanya Abdurrahman.
[20]. Yakni Husain bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhuma cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah di bunuh dan mati terzhalimi oleh sebagian penduduk Irak. Yakni, bagaimana mungkin mereka bertanya tentang hukum darah nyamuk najis atau tidak ? Padahal mereka telah membunuh Husain salah seorang kecintaan dan buah hati Nabi yang mulia n yang merupakan rizqi yang Allâh berikan kepada beliau dari bagian dunia beliau. Yang paling tepat, mestinya mereka bertanya tentang dosa pembunuhan yang mereka lakukan secara berjama’ah, kemudian mereka beristighfar dan bertaubat kepada Allâh atas perbuatan yang telah mereka kerjakan. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan tentang darah nyamuk ! Tidak demikian! Barangkali –wallahu ‘alam- Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ingin memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada penduduk Irak dan kepada kita sekalian, bahwa yang lebih penting dan sangat diutamakan dalam bertanya ialah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi penanya, untuk dunia dan akheratnya. Kemudian yang di bawahnya dan di bawahnya. Kalau sekiranya orang itu bertanya tentang hukum pembunuhan yang mereka lakukan terhadap Husain Radhiyallahu anhuma, pastilah sangat bermanfaat bagi mereka untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Pertanyaan orang Irak itu sama persis dengan sejumlah pertanyaan dari mereka yang hidup pada zaman kita. Seperti mereka bertanya tentang hukum onani, padahal mereka telah berzina menumpahkan maninya ke farji yang haram!? Dan seterusnya. Maka jawaban Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma merupakan kaidah yang sangat besar sekali dalam bab ini.
[21]. Hadits ini dikeluarkan juga oleh Muslim (2629). Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Bukhari di tempat yang lain (1418). Hadits yang semakna dengan hadits ini cukup banyak sebagiannya telah saya bawakan di kitab saya menanti buah hati dan hadiah untuk yang dinanti pada Pasal ke-11 dengan judul keutamaan mendidik dan berbuat ihsan kepada anak-anak perempuan.
[22]. Hadits ini telah dikeluarkan juga oleh Muslim (543). Al-Imam al-Bukhari juga telah meriwayatkan hadits di kitab shalat (516).
[23]. Silahkan meruju’ ke kitab saya menanti buah hati dan hadiah untuk yang dinanti (Pasal 30 dengan judul hukum membawa anak ketika shalat).
[24]. Hadits ini telah dikeluarkan juga oleh Muslim (2318).
[25]. Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Muslim (2317).
[26]. Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Muslim (2754).
[27]. Surat al-Furqân/25:68. Hadits ini telah dikeluarkan juga oleh Muslim (86).
[28]. Di atas langit yakni di atas ‘Asry-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersemayam sesuai dengan Kebesaran-Nya sebagaimana Allâh k beritahukan dalam al-Qur’an di beberapa tempat yang menjadi salah satu sifat fi’liyyah (perbuatan) Allâh k . Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di banyak haditsnya, di antaranya hadits yang sangat besar ini. Inilah aqidah yang sangat agung, yang Allâh telah memfithrahkan mahluk berdasarkan aqidah yang sangat besar ini. Oleh karena itu tidak ada yang mengingkarinya kecuali mereka yang telah rusak fithrahnya seperti Fir’aun bersama para pengikutnya.
Silahkan meruju’ untuk melihat kelengkapan takhrij ilmiyyahnya ke kitab Silsilah Shahîhah oleh al Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani (no: 925). Isnad hadits ini dha’if karena kelemahan salah seorang rawinya yaitu Abu Qâbus maula Abdullah bin Amr bin Ash. Tetapi rawi yang dha’if ini telah ada mutaabi’nya, dan hadits ini pun telah ada syawaahidnya sehingga memungkinkan derajatnya naik menjadi shahih lighairi

Benarkah Rasulullah Gagal Mewujudkan Rahmatan Lil ‘Alamin?

“Wahai sekalian manusia, saya adalah rahmat yang dihadiahkan.” (HR. Hakim dalam al-Mustadrak 100, dan disahihkan serta disepakati ad-Dzahabi).
Apa Perwujudan Rahmatan lil Alamin?
Ibnul Jauzi dalam tafsirnya – Zadul Masir – menyebutkan perbedaan pendapat mengenai cakupan kata ‘alamin’ dalam ayat di atas.
[1] Yang dimaksud alam pada ayat di atas adalah kaum mukminin, yang beriman kepada beliau. Ini merupakan pendapat Ibnu Zaid.
[2] Bahwa status beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam mencakup orang mukmin maupun kafir. Yang beriman kepada beliau, sempurna rahmat yang dia dapatkan di dunia dan akhirat. Sementara yang kufur kepada beliau, hukuman untuknya di akhirkan sampai dia mati dan ketika datang kiamat. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas. (Zadul Masir, 4/365).
Keterangan mengenai perbedaan pendapat ini juga disebutkan al-Baghawi dalam tafsirnya. Beliau menjelaskan ayat di atas,
قال ابن زيد: يعني رحمة للمؤمنين خاصة فهو رحمة لهم. وقال ابن عباس: هو عام في حق من آمن ومن لم يؤمن فمن آمن فهو رحمة له في الدنيا والآخرة، ومن لم يؤمن فهو رحمة له في الدنيا بتأخير العذاب عنهم ورفع المسخ والخسف والاستئصال عنهم
Menurut Ibnu Zaid, maksudnya adalah rahmat bagi orang mukmin saja. Beliau menjadi rahmat mereka. Sementara Ibnu Abbas mengatakan, “Rahmat ini berlaku umum, mencakup orang yang beriman dan tidak beriman. Bagi orang beriman, beliau adalah rahmat bagi mereka di dunia dan akhirat. Sementara bagi mereka yang tidak beriman, beliau adalah rahmat bagi mereka di dunia dengan Allah akhirkan adzab untuk mereka. dicabutnya hukuman yang bentuknya al-maskh (pengubahan wajah), al-Khasaf (ditenggelamkan), atau hukuman dalam bentuk pembinasaan secara keseluruhan.” (Tafsir al-Baghawi, 5/359).
Diantara keistimewaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ada pada nabi yang lain adalah ditundanya hukuman untuk orang yang tidak beriman kepada beliau. Umat para nabi sebelumnya ada yang dibinasakan oleh Allah dengan berbagai hukuman di dunia.
Ada yang dihujani batu seperti umatnya Nabi Luth. Ada yang diterpa angin hingga mematikan semuanya, seperti yang dialami kaum ‘Ad. Ada yang dibinasakan dengan suara sangat keras, seperti yang dialami kaum Tsamud. Ada yang ditelan bumi, diubah wajahnya menjadi babi dan kera, atau ditenggelamkan di laut, seperti yang dialami kaumnya Nabi Musa ‘alaihis salam.
Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, semua bentuk hukuman ini tidak ada. Bahkan Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ
“Allah tidak ada menyiksa mereka sementara kamu berada di tengah mereka.” (QS. al-Anfal: 33).
Ibnu Hajar al-Haitami pernah menegaskan hal ini,
ففي إرساله صلى الله عليه وسلم رحمة حتى على أعدائه من حيث عدم معاجلتهم بالعقوبة
Pengutusan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rahmat, sampaipun bagi para musuh beliau, dimana hukuman untuk mereka ditunda. (Fatawa al-Haditsiyah, hlm. 35).
Memahami keterangan di atas, berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh alam sejak beliau diutus oleh Allah, dan BUKAN sejak beliau mendirikan khilafah. Beliau sudah menjadi rahmat, ketika beliau di Mekah, ketika beliau di Madinah, hingga beliau diwafatkan oleh Allah.. dan syariat beliau menjadi rahmat bagi seluruh alam, sekalipun tidak ada khilafah.
Rahmat bagi mukmin, dalam bentuk hidayah di dunia dan pahala akhirat. Rahmat bagi kafir, dalam bentuk mereka tidak disegerakan hukumannya dari Allah. Mereka tetap bertahan hidup di dunia, sekalipun mereka mengingkari utusan Allah.
Gara-gara Rindu Khilafah
Para aktivis HTI selalu mengatakan semua permasalahan di alam ini akan selesai jika ada khilafah islamiyah. Sampaipun hal terkecil, selalu dikaitkan dengan khilafah islamiyah. Dalam salah satu buletin HTI yang beredar di jogja, sempat dibahas tentang banjir di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Selanjutnya penulis menegaskan, solusinya adalah khilafah.
Jika benar khilafah adalah tujuan terbesar dakwah para nabi termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu akan ada dalil tegas yang menyatakannya.
Namun, berkali-kali Allah menegaskan, bahwa tujuan terbesar Allah mengutus para nabinya adalah untuk mengajak mereka bertauhid, dan memberikan ketaatan kepada Allah sehingga selamat dunia akhirat.
Allah berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya).” (QS. al-Anbiya: 108)
Dan anda perhatikan, ayat ini Allah sebutkan setelah ayat yang menegaskan posisi beliau sebagai rahmatan lil alamin.
Jika benar khilafah adalah tujuan terbesar dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu beliau akan meminta raja Najasyi untuk menyerahkan kekuasaannya di bawah kepemimpinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau beliau meminta raja-raja Romawi dan Persi untuk menyerahkan kekuasaan mereka kepada pemerintah Madinah.
Namun itu itu tidak terjadi. Beliau hanya meminta mereka untuk masuk islam, tanpa meminta mereka untuk menyerahkan kepemimpinannya kepada Madinah.
Barangkali ini yang mendasari Sang Dai menyatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan rahmatan lil alamin karena wahyu yang Allah berikan, namun ketika beliau memiliki negara Madinah.
Demikian,
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●


Abdul Somad pada acara HTI Muktamar di Riau mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat membayangkan Rahmatan Lil Alamin selama 40 tahun, bahkan setelah wahyu Nabi Muhammad yang berusia 13 tahun bahkan tidak dapat menyadari Rahmatan Lil Alamin karena berada di bawah tekanan.

Abdul Somad berkata: "Kapan Rahmatan Lil Alamin direalisasikan? Bukan dengan kenabian, bukan dengan Quran di tangan tapi setelah Khilafatin Nubuwwah tegak."

Dia mengatakan bahwa tidak ada yang tahu Rahmatan Lil Alamin selain Khilafatin Nubuwwah, Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah (saat dijawab dengan takbir).

Lihat:
http://www.suaraislam.co/astaghfirullah-muktamar-hti-abdul-somad-sebut-nabi-muhammad-tidak-wujud-rahmatan-lil-alamin-hidupnya/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

Jika ust.A. shomad seperti itu di depan Nabi sholollohu'alaihi wasallam dan sayyidina Umar rodhiyallohuanhu, apa yang akan diterima ..?

Jadi jika Ust memiliki kewenangan sebagai Ulama Fatwa, ajaran khilafah menurut ust.ini adalah:

1. Tidak berkhotbah tentang bid'ah dan sifat ketidakpercayaan, tidak mengikuti sekelompok orang yang menyalahkan orang lain
(seperti link berikut: meskipun telah dihapus, tidak pernah tahu mengapa:
https://youtu.be/3ebAm_3OYps

2. Meremehkan SUNNAH.
Seperti yang dia katakan di youtube video: Tentang janggot dan isbal
https://youtu.be/OhxgkFNVCco

3. Akan melestarikan / menghidupkan kembali hukuman mati yang dia katakan dari tabi'in. Seperti video yutube berikut ini:
https://youtu.be/uiwfdirioRA

4. Mungkin bom bunuh diri / bom syahid.
http://ungarans.blogspot.co.id/2017/07/syubhat-ustabdul-somadtentang-bom.html?m=1

5. Memalukan / memalukan fisik seseorang, karena ia sombong, (kafir). seperti mengatakan hidung 'pesek'. Seperti kasus masa lalu.
http://ungarans.blogspot.com/2017/11/nasehat-ustabdul-somadtentang.html?m=1

Beberapa dari sekian banyak syubhat yang kita tidak tahu lihat di bawah ini :
http://ungarans.blogspot.co.id/2017/06/menjawab-syubhat-dakwah-ustadz-abdul.html?m=1 


Ust.Abdul Shomad Bingung Memahami Rahmatan Lil 'Alamin
Penegasan bahwa Islam adalah agamanya bahwa rahmat lil 'alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta'ala,
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
"Kami tidak mengirimmu, Muhammad, tapi sebagai rahmat bagi segenap umat manusia" (QS Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa sallam dikirim dengan ajaran Islam, maka islam adalah rahmat lil'alamin, islam adalah berkah bagi seluruh umat manusia.
Dalam bahasa itu,
الرحمة: الرقة والتعطف
Rahmat berarti kelembutan dikombinasikan dengan kasih sayang (lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat bisa ditafsirkan dengan cinta. Jadi, dia mengirim Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bentuk cinta kepada seluruh umat manusia.
Lihat Interpretasi Penerjemah
Alam semesta umumnya mendapat manfaat dengan mengirim Muhammad sang nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mengikutinya bisa mencapai kemuliaan dunia dan akhirat sekaligus. (Ibn Qayyim Al Jauziyyah di Tafsir Ibnul Qayyim)
Orang-orang kafir yang menentangnya, keuntungan yang mereka dapatkan adalah pembunuhan dan kematian mereka, lebih baik untuk mereka. Karena hidup mereka hanya akan meningkatkan masa depan yang menyakitkan di akhirat. Pemusnahan telah ditetapkan untuk mereka. Dengan demikian, percepatan kematian lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup dalam ketidakpercayaan. (Ibn Qayyim Al Jauziyyah di Tafsir Ibnul Qayyim)
Orang-orang kafir yang terikat oleh kesepakatan dengannya, manfaat bagi mereka dibiarkan hidup di dunia dalam perlindungan dan konsensus. Mereka kurang dirugikan dibanding orang kafir melawan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Ibn Qayyim Al Jauziyyah di Tafsir Ibnul Qayyim)
Umumnya, orang yang tidak percaya menerima restu tersebut dengan mengirimkan Nabi Muhammad SAWallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk penghindaran adzab yang melampaui orang-orang sebelumnya yang menentang Allah. Jadi setelah mengirim Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak akan ada orang kafir yang disiksa oleh seluruh terendam atau terendam ke seluruh bumi atau berubah menjadi keseluruhan hewan.
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة, ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
"Kemurahan hati yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, sementara mereka yang menolak untuk percaya, bentuk rahmat bagi mereka adalah tanpa malapetaka bagi orang-orang di masa lalu" (Muhammad bin Jarir Ath Thabari di Tafsir Ath Thabari)
"Kata bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, dia berkata:
كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد, ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من الخسف والغرق
"Muhammad sallallaahu 'alaihi wa sallam adalah berkat bagi seluruh umat manusia, bagi mereka yang percaya dan membiarkan ajaran mereka bahagia, karena mereka yang tidak percaya kepadanya, diselamatkan dari bencana masa lalu seperti tenggelam ke dalam bumi atau tenggelam dalam air" Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi di Tafsir Al Qurthubi)
Dan untuk umat manusia setelah dia diutus, Allah Ta'ala tidak memberikan kewajiban kemanusiaan yang komprehensif di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari pengiriman Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.
Orang-orang munafik yang mengaku sebagai verbal tapi tidak taat di dalam hati juga menerima rahmat dengan mengirimkan Muhammad sallallaahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendapatkan keuntungan dari darah, kekayaan, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka diperlakukan sebagai Muslim lainnya dalam hukum ahli waris dan hukum lainnya. Tapi di akhirat Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka.
Slam adalah berkah bagi setiap manusia, namun orang percaya menerima anugerah dan keuntungan ini di dunia ini dan di akhirat. Sementara orang kafir menolaknya. Jadi bagi mereka yang kafir, Islam tetap merupakan restu bagi mereka, namun mereka menolak untuk menerima. Seperti yang dikatakan 'Ini adalah obat untuk penyakit ini'. Misalkan fulan tidak meminumnya, obatnya tetap dikatakan obat "(Ibn Qayyim Al Jauziyyah di Tafsir Ibnul Qayyim)
"Arti dari ayat ini adalah 'Kami tidak mengutusmu, Muhammad, tapi sebagai rahmat bagi semua makhluk.' Seperti dalam sebuah hadis:
إنما أنا رحمة مهداة
"Sesungguhnya aku adalah karunia kasih karunia (oleh Allah)" (Al Bukhari di Al 'Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi di Syu'abul Iman 2/596. Hadis ini adalah Al-Albani di Silsilah Ashih Shahihah, 490, juga di Shahih Al Jami ', 2345)
Allah Ta'ala tidak mengatakan 'rahmatan lilmu'minin', namun mengatakan 'rahmatan lil' alamin 'karena Allah Ta'ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu' alaihi Wa sallam. Dia dikirim dengan kebahagiaan besar. Dia juga menyelamatkan orang dari penderitaan yang luar biasa. Dia adalah alasan untuk keuntungan dunia dan akhirat. Dia memberi pencerahan kepada mereka yang sebelumnya tidak sadarkan diri. Dia membimbing orang yang salah sebelumnya. Inilah rahmat Tuhan bagi semua orang. Bahkan orang-orang kafir pun mendapat keuntungan dari anugrah ini, menunda hukuman bagi mereka. Selain itu, mereka tidak lagi dihukum karena diubah menjadi binatang, atau direndam di bumi, atau direndam dalam air "
Bukankah ini semua dirasakan oleh orang-orang yang hidup dalam kehidupan Nabi?
Bukankah penggunaan Islam kita saat ini, baik oleh manusia, tumbuhan, hewan dan bahkan orang kafir?
Jadi jelas bahwa Nabi dikirim untuk membawa rahasia Islam lil alamin alih-alih menunggu berdirinya khilafah seperti yang didengar oleh Hizbut Tahrir dan disampaikan oleh Abdul Somad.

jika menginginkan Khilafah ala Minhajin Nubuwwah tegak, ikuti dan teladanilah manhaj Rasulullah
dan para Shahabat ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ ﻋﻨﻬﻢ di dalam beragama, karena tidak mungkin Allah ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰٰ memperbaiki keadaan ummat ini kecuali dengan apa-apa yang telah membuat baik ummat-ummat sebelumnya.
'Abdullah bin Mas'ud
ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ ﻋﻨﻪ berkata,
"Pada suatu hari, Rasulullah
membuat garis di hadapan kami dengan tangannya kemudian beliau bersabda,
'Ini adalah jalan Allah
ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ yang lurus.'
Lalu beliau
membuat beberapa garis di kanan kirinya, kemudian beliau bersabda,
'Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang menyeru kepadanya.'
Selanjutnya beliau
membaca firman Allah ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ :
"Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah (jalan) itu; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain) karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar kalian bertakwa."
(QS. Al-An'aam [6] : 153)
[Shahiih, HR. Ahmad, I/435, 465, ad-Darimi, I/67 - 68, 78, no. 202, al-Hakim, II/318, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 97, As-Sunnah libni Abi 'Ashim, no. 17, Ath-Thayaalisi, no. 244, ath-Thabari dalam Tafsiir-nya, VIII/88, Tafsiir An-Nasaa-i, V/94, no. 194, 8364, VI/343, no. 11174, dan Ibnu Hibbaan, I/180 - 181, no. 6 - 7]

'Abdullah bin Mas'ud
ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ ﻋﻨﻪ berkata,
"Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah
. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling lurus ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus."
(Diriwayatkan oleh Ahmad, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, at-Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42, ad-Darimi, I/44, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, I/205, Ibnu 'Abdil Baar dalam Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, II/947, no. 1810, dan al-Hakim, I/95, Irwaa-ul Ghaliil, no. 2455)

Wallaahi, Khilafah ala Minhajin Nubuwwah akan tegak dengan tauhid di atas dasar 'aqidah dan manhaj yang benar (shahiih).

Semoga Allah memberi kita bimbingan dan menjauhkan kita dari pemahaman hadits yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah.

ini link fatwa UAS membolehkan musik asal baik mau rock atau apapun yg lain: 
Ini link UAS Menghina manhaj Shalaf manhajnya Ulama Mekah dan Madinah: 
Poto mesra UAS dgn ali jum'ah pembela syiah menganggap syiah bagian dari Islam: 
Ini video link UAS mengkafirkan dan tidak mau beriman Allah di atas Arsy dan mengkafirkan orang yang beriman Allah di atas Arsy : 
Ini link UAS menghina Sunnah Jenggot dgn menyebut seperti tusuk sate bila tumbuh di dagunya: 
Ini link fatwa sesat UAS bolehnya bom bunuh diri: 
(Postedby: Jambi Cinta Sunnah)
Mengapa Hizbut Tahrir Membenci Arab Saudi…?!
Hukum Qisash di Saudi tidak sah karena bukan khilafah??
Imam Syafii Menyamakan HUKUM MUSIK Dengan Hukum KHAMR, Tapi HIZBUT TAHRIR INDONESIA Malah Ngeband Pas Acara Muktamar KHILAFAH..
Akibat Pemikiran Khawarij, Mengajak Melakukan Kudeta, Sebagaimana Ajakan Hizbut Tahrir
Tauhid Dulu, Ataukah Khilafah?
Apa itu Gerakan Hizbut Tahrir? Banyak sekali yang tertipu dengan dalih pendirian khilafahnya.. padahal…
Contoh-Contoh Hadits Ahad. Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat
Bagaimana Menasehati Penguasa?
Khalifah Sedunia Harus Satu?
Hizbut Tahrir, Jama'ah Pemimpi Yang Mencela Realitas