Saturday, May 5, 2018

Apa Yang Terjadi Di Basrah Dan Sekitarnya Pada Tahun 260H – 350H?

Hasil gambar untuk abad 3H

Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
 “Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)

Pertama

Dalam masa kebingungan besar (‘hairatusy syi’ah’) pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (imam ke-11 mereka, 260 H), skenario hebat seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) yang dekat dengan cucunya Ja’far Shadiq (Muhammad bin Isma’il), mengkloning nama anaknya (Abdullah) sama dengan nama cucu Ismail bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin Muhammad bin Ismail bin Ja’far Shadiq). Juga anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il.

Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq! Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam; salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini. 

Nama-nama Misterius (tokoh syiah)
Dapat dipastikan bahwa banyak dari pembaca kaget saat membaca sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak menulis sejarah untuk sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah dan pelajaran, lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti kita dengan cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.

Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi merupakan kejahatan terhadap generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari cahaya saat enggan mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah jauh sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.

Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
 “Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)

Karenanya, masalah ini semestinya tidak berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan membangun masa depan kita.

Pertama-tama, saya ingin membuka artikel ini dengan dua peringatan penting:

Pertama, agar anda memahami dan mendapat faedah dari artikel ini, anda harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok keyakinan Syi’ah. Sebab di sana ada akar sejarah perkembangan mereka, dan pokok-pokok akidah mereka yang membantu anda untuk memahami kronologi yang terjadi di lapangan.

Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar membacakan sejarah dan menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum memberi ulasan final yang menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya terhadap Syi’ah, dan bagaimana hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting ini akan kusendirikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku sangat besar manfaatnya bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk hubungan yang mesti terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika berangkat dari latar belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.

Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang dinobatkan sebagai imam ke-11 oleh mereka), Syi’ah memasuki masa kebingungan besar yang terkenal dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam masa tersebut mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan setiap firqah memoles agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih baik… dan konon firqah yang paling terkenal adalah firqah “itsna ‘asyariyah” (12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan sebelumnya.

Namun firqah Itsna Asyariah ini bukanlah satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang lebih berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka bagi umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.

Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.

Mulanya orang ini menampakkan diri sebagai muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.

Maimun telah melakukan sesuatu yang luar biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan makar tersebut ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah kematiannya! Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin Isma’il, yaitu Abdullah. Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak menamai anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il. Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu, mereka kelak akan mengklaim bahwa Al Imamah Al Kubra (kepemimpinan terbesar) yang seharusnya memimpin umat Islam seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq sebagaimana yang diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya mendapatkan cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak cucunya mulai meracik pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang bertentangan dari A-Z dengan akidah Islam. Keyakinan terburuk mereka di antaranya ialah bahwa Allah menitis kepada Imam mereka saat itu, hingga mereka menganggapnya sebagai Ilah. Mereka juga meyakini adanya reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah tiada, lebih-lebih arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang masih hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia setelah wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap halal semua maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan menghujat Rasulullah yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah melakukan pembunuhan tersembunyi terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka selanjutnya.

Dakwah Isma’iliyah dengan segala pemikiran merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yang bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait. Mereka berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak cucu Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam dakwah mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.

Di antara orang Persi tadi adalah Husein Al Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia konon beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh yang sangat jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.

Orang terakhir ini asal usulnya masih diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya dengan nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk kelompok khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’ yang merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.

Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas, perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.

Semua perkembangan ini –dan perkembangan-perkembangan lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh kedua abad 3 hijriyah. Kemudian setelah itu muncul lagi firqah-firqah besar yang masing-masing mengaku paling benar. Mereka saling berselisih dalam hal akidah, prinsip, hukum-hukum dan semuanya. Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi Ahlussunnah di samping juga saling bermusuhan satu sama lain karena tidak puas dengan keyakinan pihak lain. Hal ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa nafsu dan bid’ah dalam agama.

Sampai periode ini, semua firqah tadi sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…

Konon yang paling awal mencapai kekuasaan dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling sadis di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka membantai jemaah haji dalam mesjid, dan mencuri Hajar Aswad setelah menghancurkannya!

Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga akhirnya dikembalikan ke Ka’bah tahun 339 H!

Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan bumi maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein yang tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang yang bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.

Ia berusaha menarik simpati masyarakat dengan menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku keturunan Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!

Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’, nisbat kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!

Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu masuk ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar demi menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka lebih gila lagi dengan mengaku sebagai Ilah, seperti Al Haakim biamrillah. Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau membebaskan Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.

Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di wilayah Persia dan Irak, hingga akibatnya mereka dapat mencapai kekuasaan di berbagai daerah.

Mereka berhasil merasuki keluarga Bani Saman yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka konon menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman ini berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka baru nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.

Mereka juga merasuki keluarga Bani Hamdan yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang mulanya menguasai wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H. Kekuasaan mereka terus berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah) pada tahun 333 hingga 392 H. Sedangkan penetrasi mereka yang paling berbahaya ialah terhadap keluarga Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka berhasil mendirikan sebuah daulah di wilayah Persia, lalu berkembang hingga akhirnya menguasai khilafah Abbasiyah tahun 334 H, dengan tetap membiarkan Khalifah Bani Abbas di pusatnya agar tidak memicu pemberontakan kaum muslimin Ahlussunnah terhadap mereka. Selama lebih dari seratus tahun penuh mereka menguasai khilafah Abbasiyah, dari tahun 334 hingga 447 H, hingga muncullah orang-orang Turki Seljuk yang bermazhab Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak dari kekuasaan syi’ah ini.

Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan dalam sejarah kita umat Islam.

Sebagaimana yang kita saksikan, abad keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan kaum Samaniyun menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur dunia Islam. Adapun Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan Qaramithah menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz, Damaskus, dan Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah), maka lebih liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok Palestina, Suriah dan Lebanon!

Di akhir abad keempat hijriyah, daulah Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum Syi’ah Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun tanpa kekuasaan.

Kondisi tetap seperti itu hingga tahun 907 H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna Asyariyah di Iran. Istilah ‘shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729 H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka dari Irak.

Hari-hari terus berlalu dan perseteruan berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka terpusat di bumi Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran terpecah menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia, Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki periode lemahnya… ia dikeroyok oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini mengakibatkan lemahnya kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah ini silih berganti dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal kepada orang Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India dan Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.

Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang kepada mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut. Kekuasaan Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah yang mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka tahun 1343 H/1925 M.

Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).

Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang. Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni. Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris, Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali antara syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.

Pun demikian, kita tidak menyalahkan generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita mesti mengatakan bahwa anak cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…

Menurut Anda, bagaimana sikap kita terhadap syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah sebaiknya kita diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan berikutnya…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
Penulis: Dr. Ragheb Sirjani
Penerjemah: Abo Hozaifah Al Atsary

Syi’ah, Jika Menerapkan Ilmu Al Jarh Wat Ta`Dil Sebagaimana Ahlus Sunnah, Maka Tidak Tersisa Sedikitpun Dari Hadits Mereka (Sampah). Mereka Banyak Berdusta Atas Ja`far Ash Shadiq, Menasabkan Dari Riwayat-Riwayat Yang Dibuat-Buat, Menukil Tanpa Sanad Atau Sanad Maudhu` (Dipalsukan) Atau Dhaif Atau Maqthu` (Terputus), Agama Masyayikh.
Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab Sampai Fatimah? Hasil Skenario Hebat Seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) Yang Dekat Dengan Cucunya Ja’far Shadiq (Muhammad Bin Isma’il), Mengkloning Nama Anaknya (Abdullah) Sama Dengan Nama Cucu Ismail Bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin Muhammad Bin Ismail Bin Ja’far Shadiq) Dan Seterusnya.
Para Ulama Menyebut Daulah Fatimiyah (3H) Dengan Daulah Ubaidiyah (Ubaidullah Al-Mahdi). Tidak Ada Bukti Ilmiyah (Jahr Wat Ta’dil) Dari Ulama-Ulama Tsiqah Yang Hidup Diabad Ke 3H-7H Terkait Klaim Nasab Mereka Kepada Fathimah RA. Daulah Peneror Terkejam (Syi’ah Ismailiyah) Terhadap Ahlu Sunnah.
[Kenapa Dinasti Fathimiyyun yang besar dan mengklaim Memiliki Nasab Sampai Fatimah RA, saat ini tidak meninggalkan jejak keturunannya (terdata)?]
Ulama Al-Jarh Wa Tadil, Penjaga Dan Pembela Agama
Ilmu Al-Jarh Wat-Ta’dil

Kedua

Napak Tilas Perjalanan Hidup al-Imam Abul Hasan Al-asy’ari
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.)
Nama dan Garis Keturunan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H bertepatan tahun 873 Masehidan wafat di Baghdad (Irak) pada tahun 324 H bertepatan 935 Masehi. Beliau dikenal dengan sebutan Abul Hasan al-Asy’ari. Abul Hasan adalah kuniah beliau.1 Adapun al-Asy’ari adalah nisbah (penyandaran) kepada kabilah al-Asy’ar2, salah satu kabilah besar di negeri Yaman, yang berpangkal pada diri Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Laqab (julukan) beliau adalah Nashiruddin (pembela agama).3
Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah seorang sunni yang mencintai ilmu hadits dan berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana penuturan Abu Bakr Ibnu Furak. Bahkan, menjelang wafatnya, sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul Hasan kecil dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil Arab karya al-Imam Ibnu Hazm 1/163, al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Nihayatul Arab fi Ma’rifatil Ansab karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)

Kepribadian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari

Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t adalah seorang yang berbudi pekerti luhur dan terkenal kejeniusannya. Pola hidupnya sederhana, selalu diiringi oleh sifat zuhud (tidak tamak terhadap dunia), qana’ah (bersyukur dengan apa yang ada), penuh ta’affuf (jauh dari sifat meminta-minta), wara’ (sangat berhati-hati dalam urusan dunia), dan sangat antusias terhadap urusan akhirat. Di sisi lain, beliau adalah seorang yang suka humor dan tidak kaku. (Lihat Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdadi 11/347, Siyar A’lamin Nubala 15/86 dan al-‘Ibar fi Khabari Man Ghabar karya al-Imam adz-Dzahabi 2/203, Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 141—142, serta al-Fihristi karya Ibnun Nadim, hlm. 257)
Setelah berlalu sekian masa, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t semakin mendekat kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akhirnya, beliau meninggalkan akidah Kullabiyah dan berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah fase ketiga kehidupan beragama beliau.

Pada fase ketiga ini, beliau banyak berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti al-Muhaddits al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi al-Bashri, al-Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij al-Baghdadi—panutan mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan al-Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam hal fatwa dan ilmu di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)


Ketiga

Imam Ath-Thobroni
Beliau adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathir al-Lakhami asy-Syami ath-Thobroni . Ia dilahirkan pada bulan shofar tahun 260 Hijriyah di Aka, kota asal ibunya.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah mengatakan, “Abu al-Qosim ath-Thobroni  adalah salah satu al-Hafizh yang agung.”
Adz-Dzahabi  mengatakan, “Ath-Thobroni adalah seorang imam, al-Hafizh, tsiqoh, ulama yang melakukan banyak perjalanan, ahli hadits dan bendera para penyeberang lautan ilmu.”
Tidak henti-hentinya hadits-hadits yang disampaikan ath-Thobroni  dituju, disenangi dan diambil orang, lebih-lebih pada masa temannya, Ibnu Ridzah. Pada masa itu, banyak para pencari ilmu yang menimba ilmu darinya. As-Salafi telah mencatat ada sekitar seratus orang yang menjadi muridnya.”
Al-Hafizh Sulaiman bin Ibrohim  mengatakan, “Ibnu Mardawaih pernah mempunyai rasa benci terhadap ath-Thobroni sehingga mengucapkan sesuatu yang bernada mengejeknya, maka Abu Nu’aim berkata kepadanya, “Berapakah hadits yang kamu tulis darinya, wahai Abu Bakar?” Ibnu Mardawaih berisyarat pada beberapa tumpukan berkas. Lalu Abu Nu’aim bertanya, “Apakah kamu melihat orang yang menyamainya?” Ibnu Mardawaih tidak menjawab pertanyaan ini.”
Muhammad bin al-Haitsam  menceritakan bahwa ia mendengar Abu Ja’far bin Abi as-Sirri mengatakan, “Aku bertemu dengan Ibnu Uqdah di kufah. Aku memohon kepadanya untuk mengulangi apa yang aku tertinggal darinya. Namun, ia menolak untuk mengulangi. Aku pun meminta dengan keras agar dia tetap mengulanginya. Kemudian ia berkata, “Dari negeri manakah kamu?” Aku menjawab, “Dari Asfahan.” Ia berkata, “Syi’ah (pendukung) Muawiyah?” Aku berkata, “Demi Alloh, tidak, mereka adalah Syi’ah Ali. Imam Ali bagi setiap penduduk Asfahan adalah lebih berharga dari pada kedua mata dan keluarga mereka.”
Ibnu Uqdah pun mau mengulangi apa yang aku telah tertinggal darinya. Kemudian ia berkata kepadaku, “Aku mendengar dari Sulaiman bin Ahmad al-Lakhomi.” Aku berkata, “Tidak!” Ia berkata, “Subhanalloh!  Abu al-Qosim (Sulaiman bin Ahmad ath-Thobroni ) di negerimu, sedangkan kamu tidak mau mendengar darinya. Kalau begitu aku yang berada di kufah merasa sakit hati. Aku tidak mengetahui seorang pun yang dapat menandingi keilmuannya, aku telah mendengar hadits darinya dan dia mendengar hadits dariku.”
Ad-Dawudi  mengatakan, “ath-Thobroni adalah imam yang dijadikan hujjah, sandaran para al-Hafizh dan menjadi sanad dunia.”
Ilmunya Yang Luas dan Aktifnya dalam Mendengarkan Hadits
Abu al-Husain Ahmad bin Faris al-Lughowi raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) mengatakan, “Aku mendengar ustadz ibnu al-Amid mengatakan, “Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini ada sesuatu yang lebih nikmat dari pada kepemimpinan dan kementrian yang aku berada di dalamnya sampai suatu saat aku melihat perdebatan antara Abu al-Qosim ath-Thobroni dan Abu Ja’far al-Juabi di depanku.
Ath-Thobroni mengalahkan al-Juabi dengan hafalan haditsnya dan al-Juabi mengalahkan ath-Thobroni dengan kecerdasan akalnya. Perdebatan mereka berdua menjadi memanas sehingga suara mereka terdengar keras. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah.
Al-Juabi berkata, “Aku mempunyai hadits yang tidak ada di dunia kecuali ada padaku.”
Ath-Thobroni mengatakan, “Datangkanlah apa yang kamu punya itu.”
Al-Juabi berkata, “Telah meriwayatkan hadits kepada kami Abu Kholifah al-Jahmi, telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman bin Ayyub, dan dariku Abu Kholifah al-Jahmi, telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman al-Ayyub.” Al-Juabi kemudian menyebutkan matan hadits tersebut.
Ath-Thobroni  mengatakan, “Telah meriwayatkan hadits kepada kami Sulaiman al-Ayyub, dan dariku Abu Kholifah mendengar hadits tersebut. Maka mendengarlah dariku agar sanadmu menjadi tinggi.”
Mendengar keterangan ath-Thobroni  tersebut al-Juabi menjadi malu. Dan dari perdebatan tersebut aku berandai, “Jika kementrian tidak ada dan aku adalah ath-Thobroni serta aku senang, seperti ath-Thobroni merasa senang.”
Abu Bakar bin Abi Ali al-Muaddil  mengatakan, “ath-Thobroni lebih masyhur dari pada kelebihan-kelebihannya yang disebut-sebut. Ia adalah orang yang luas ilmunya dan banyak karyanya.”
Adz-Dzahabi  mengatakan, “Pertama kali ia mencari ilmu pada tahun 273 Hijriyah. Ia diajak oleh ayahnya, seorang ahli hadits dari kawasan Duhaim. Perjalanan pertama kalinya ia lakukan pada tahun 275 Hijriyah.
Ia terus menerus melakukan perjalanan mencari ilmu dan menemui para ahli hadits selama enam belas tahun.
Ia menulis para ahli hadits salaf  (yang dahulu) maupun muta’akhirin (yang belakangan) sampai ia mempunyai kecakapan dalam bidang ini.
Ia mengumpulkan ilmu dan mengarang karya ilmiyah, diberikan umur yang panjang dan didatangi para ahli hadits dan para pencari ilmu dari berbagai negeri.
Ia telah menemui teman-teman Yazid bin Harun, Ruh bin Ubadah, Abu Ashim, Hajjaj bin Muhammad dan Abdur Rozaq. Ia terus menulis para tokoh hadits sampai menulis teman-temannya sendiri.
Ia mencari ilmu di Mekah, Yaman, Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Bashroh, Asfahan, Khurotsan dan negeri-negeri yang lain. Kemudian, ia menetap di Asfahan dan mengajar ilmu serta menulis kitab di sana. Ia sampai ke Irak, setelah selesai melakukan perjalanan dari Mesir, Syam, Hijaz, dan Yaman. Sedangkan ia menuju Irak lebih terlebih dahulu, maka ia akan menemukan sanad yang banyak. Wallohu a’lam bishowab. [Dikutip dari, 60 Biografi Ulama Salaf, Pustaka al-Kautar].
(Red-HASMI/IH/Muhammad Sujud A.Md.,S.Sy)

Keempat

Imam an-Nasa’i, Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan
Beliau adalah imam besar, syaikhul Islam, penghafal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H[31].
Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau dengan mengatakan, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghafal hadits dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya”[32].
Imam Abul Hasan ad-Daraquthni berkata, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di jaman beliau”[33].
Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah)[34].
[31] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (14/125) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 80).
[32] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (14/133).
[33] Ibid (14/131).
[34] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).

Kelima

Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan.

317 H. Abu Thahir Ar-Rafidhi Al-Qurmuthi sampai dan memasuki kota Mekah pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) lalu membunuh para jamaah haji di masjidil Haram serta mencongkel hajar Aswad dan membawanya ke tempat ibadah mereka di Ahsa’. Dan hajar Aswad itu berada disana sampai tahun 355 H. Kerajaan mereka tetap eksis di Ahsa’ hingga tahun 466 H. Pada tahun ini berdirilah kerajaan Hamdaniyah di Mousul dan Halab kemudian tumbang pada tahun 394 H.
329 H. Pada tahun ini Allah telah menghinakan kaum Rafidhah karena pada tahun ini dimulailah Ghaibah Al-Kubra atau menghilang selamanya. Menurut mereka, imam Rafidhah yang ke-12 telah menulis surat dan sampai kepada mereka yang bunyinya: “Telah dimulailah masa menghilangku dan aku tidak akan kembali sampai masa yang diizinkan oleh Allah, maka barangsiapa yang mengatakan bahwa dia telah berjumpa denganku maka dia adalah pendusta dan telah tertipu.” Semua ini mereka lakukan dengan tujuan menghindari akan banyaknya pertanyaan orang-orang awam kepada ulama mereka tentang keterlambatan Imam Mahdi keluar dari persembunyiannya.
320-334 H. Munculnya kerajaan Buwaihiyah beraliran Rafidhah di daerah Dailam yang didirikan oleh Buwaih bin Syuja’. Mereka membuat kerusakan-kerusakan di kota Baghdad, Iraq, sehingga orang-orang bodoh pada masa itu mulai berani memaki-maki para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
339 H. Hajar Aswad dikembalikan ke Mekkah atas rekomendasi dari pemerintahan Ubaidiyah di mesir.